PROLOG
Kraton Yogyakarta sesungguhnya memiliki banyak juru kunci,
namun demikian harus diakui bahwa yang paling fenomenal hingga saat ini adalah
Mbah Maridjan, abdi dalem yang di baptis bin di bai’at sebagai juru kunci
Gunung Merapi sejak tahun 1982 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Sebagai sebuah Kraton yang dibangun berdasarkan sumbu
imajiner nan filosofis, Yogyakarta memilik tiga titik utama yang tak
terpisahkan, yakni Gunung Merapi, Kraton dan terakhir Pantai Selatan. Itu
artinya, satu tokoh kunci penting lain masih hidup hingga sekarang.
Siapakah dia ? Tak lain adalah Juru kunci yang mengemban amanat tradisi kraton
dengan area wilayah laut selatan.
Syahdan, jika Gunung Merapi di huni oleh tokoh gaib raja
raksasa api bernama Eyang Mrapen a.k.a Mbah Petruk, maka tokoh gaib yang ada di
laut selatan sudah tidak asing lagi bagi kita : Kanjeng Ratu Kidul ( meski yang
lebih populer sesungguhnya justru wakilnya sendiri (Patih) yang bernama Nyai Roro
Kidul )
Dalam kacamata kebatinan Jawa, sesungguhnya almarhum Mbah
Maridjan selama ini bukan menyembah gunung seperti yang di plintir oleh kaum
radikal anti tradisi, namun melakukan dialog dalam versi kebatinan yang hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang super pasrah, polos dan tulus macam Mbah
Maridjan terhadap sesuatu yang tak kasat mata. Menyembah, dalam tradisi
jawa artinya memberi hormat. Hal ini jelas tidak ada hubungannya dengan
memuliakan. Mungkin kita semua sepakat, bahwa memberi hormat merupakan
kebiasaan yang baik untuk dilakukan.
Dalam tradisi Kraton Yogya, setiap abdi dalem yang mengemban
tugas sebagai juru kunci biasanya diberi gelar “Surakso” yang berarti :
Penjaga. Sebagai contoh, nama aslinya adalah Maridjan, namun setelah diangkat
sebagai juru kunci namanya berubah menjadi Raden Penewu Surakso Hargo.
“Raden Mas Ngabehi Penewu” merujuk pada nama kebangsawan kraton, “Surakso”
merujuk pada fungsi kerja, “Hargo” merujuk pada obyek kerja. Hargo dalam bahasa
jawa artinya ” Gunung”.
” Kenapa harus ada Penjaga Gunung ? ” . Bagaimana kalau
pertanyaan ini kita persamakan dengan ” kenapa harus ada pencinta alam ? “.
Dulu sering sekali kaum radikal anti tradisi sering nyinyir mengolok-olok
teman-teman pecinta alam dengan kata-kata konyol ” alam kok dicintai,
cinta tuh pada Allah, jangan cinta sama alam ! ” Di tahun 60-an, Soe Hok
Gie dan komunitas Mapalanya sangat kenyang dengan olok-olok macam ini.
Beruntung kawan-kawan komunitas Pecinta Alam hingga saat ini tidak terlalu
menggubris cibiran-cibiran kurang berpendidikan seperti itu sehingga tugas
melindungi alam dari kehancuran domestik manusia tetap ada yang menjalankannya.
Tugas mbah maridjan dan juru kunci lain tak beda jauh dengan
apa yang dilakukan para pecinta alam sekarang. Mbah Maridjan dalam sebuah
tayangan TV mengakui bahwa tugasnya adalah tukang sapu gunung. Membersihkan
sekitar gunung Merapi dari sampah-sampah yang dibuat para pengunjung secara
tidak bertanggung jawab. Selain tugas fisik, tugas spiritualnya adalah
sebagai wakil kraton yogya dalam menjalin komunikasi batin dengan seluruh
energi dan unsur tak kasat mata yang melingkupi area gunung merapi. Tentu saja
komunikasi batin yang dilakukan menggunakan cara-cara jawa, (bukan cara-cara
cina atau cara-cara afrika).
Kini, sepeninggal Mbah Maridjan, juru kunci pantai selatan
seakan merasa timpang sebelah. Sumbu imajiner Yogyakarta seakan begitu berat di
topang meski sama sekali tak mengurangi militansinya mengemban amanah. Beliau
memang tak sepopuler Mbah Maridjan meski gaji bulanan yang diterimanya dari
Kraton sama dengan rekan sejawatnya itu yakni :dibawah sepuluh ribu rupiah.
RADEN PENEWU SURAKSO TARWONO atau yang biasa dipanggil akrab MBAH NONO
agaknya punya watak pengabdian yang tak jauh berbeda dengan Mbah
Maridjan. Selama perintah belum dicabut oleh almarhum Sri Sultan HB IX,
mbah Nono tak akan pernah berpindah dari pos penjagaannya walau badai dan
tsunami besar menghantam dahsyat.
Mengenai keberadaan juru kunci, utamanya yang berada
dikalangan masyarakat jawa, memang banyak menimbulkan pro dan kontra. Pihak
yang kontra atau kurang setuju dengan adanya kuncen ini biasanya beralasan
karena praktik-praktik para kuncen ini yang kelihatan tidak sejalan dengan
ajaran atau nilai-nilai dalam Agama Islam. Kita bisa melihat bagaimana para
kuncen –dalam prosesi doa/acara mereka- mempersembahkan ayam atau kepala
kambing dan kerbau yang ditujukan pada penguasa tempat yang mereka jaga
(gunung, laut, pemakaman dsb.), tak lupa kemenyan dibakar yang menambah sakral
keadaan saat upacara berlangsung, ditemani kembang tujuh rupa, doa-doa dalam
bahasa jawa pun mulai dilantunkan. Si kuncen (juru kunci) dan warga pengikutnya
berharap, dengan upacara dan persembahan yang mereka berikan, sang penguasa
dari alam lain (jin, siluman, demit) tempat itu tidak akan ngamuk dan menjatuhkan celaka pada mereka. Terkadang pada
bulan-bulan tertentu, mereka juga menggelar acara-acara khusus seperti upacara
panen, ruatan dan lain-lain di
tempat-tempat yang mereka anggap sakral. Dalam upacara-upacara seperti ini pun,
sang juru kunci wajib diikut sertakan. Nah, hal-hal semacam ini memang
dikhawatirkan oleh sebagian ulama dapat menjurus pada kesyirikan, karena
masyarakat seperti ini terkesan menyembah dan meminta keselamatan pada selain
Allah. Sedangkan Islam hanya percaya pada satu Illah, dan hanya Allah lah yang
kuasa memberi manfaat ataupun menjatuhkan kemudaratan pada sekalian makhluk.
Pendapat yang mendukung kegiatan para kuncen, biasanya
datang dari kalangan budayawan, penggiat HAM ataupun para ulama yang lebih
liberal. Mereka menganggap apa yang dilakukan oleh para kuncen adalah bagian dari budaya dan
kearifan lokal yang harus dilestarikan. Selain itu, tidak dapat kita pungkiri
peran dari seorang juru kunci di tengah masyarakat jawa yang terus berkembang
sangatlah penting. Kata-kata mereka dipercaya dan dituruti oleh masyarakat,
sehingga segala larangan dan anjuran mereka biasanya akan menjadi semacam
aturan tidak tertulis di antara masyarakat setempat. Hal ini terbukti sangat
efektif untuk mencegah terjadinya kerusakan pada tempat-tempat yang mereka
jaga. Seperti pencemaran sungai, perambahan hutan dan pencurian benda-benda
bersejarah. Masyarakat jawa mayoritas masih percaya dengan mitologi-mitologi
yang diceritakan oleh juru kunci. Misalnya seorang juru kunci berkata agar di
daerah itu tidak boleh menebang pohon atau tidak boleh berkata kotor, maka
orang-orang yang percaya tidak akan berani melakukan hal-hal semacam itu karena
takut terkena kesusahan atau kesialan.
Kalau kita lihat memang tradisi yang dijalankan para kuncen
ini masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya-budaya sebelum Islam. Meski bisa
dikatakan mayoritas juru kunci di tanah Jawa adalah muslim. Tapi mengapa para
Wali Sembilan (wali songo) sebagai
penyebar Islam di tanah Jawa tidak melarang (membiarkan) kegiatan para kuncen
ini? Apakah dalam agama Islam tidak ada doa penolak bala yang bisa dilafalkan oleh
para juru kunci?
Pada awal mula penyebaran Islam, perubahan kebiasaan atau
tradisi-trsdisi lama tidak dapat dirubah secara cepat, karena bisa menimbulkan
ketegangan dan pertentangan. Para wali songo lebih banyak menyuntikan nilai dan
tradisi Islami kedalam tradisi setempat yang sudah ada agar dapat terjadi
akulturasi. Pada awal masuknya Islam,
pembangunan kesadaran beragama lebih diutamakan. Yang jelas akulturasi ini
menunjukan keberhasilan yang nyata, terbukti dengan diterimanya Islam dengan perdamaian
hingga saat ini. Di dalam ajaran agama Islam pun banyak sekali doa yang
diajarkan Rasulullah ataupun ciptaan dari para ulama, namun masuknya juru
kuncen pada Agama Islam masih lebih dipentingkan dari pada memaksaan doa secara
Islami namun hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan.
Pada konteks kekinian, kiranya peran juru kunci dikalangan
masyarakat Jawa memang tidak dapat digeser. Mengingat banyak peran penting yang
diemban oleh seorang juru kunci. Yang perlu diluruskan adalah praktek/cara ia
berdoa dan tata cara ia menggelar upacara. Umat harus disadarkan bahwa hal-hal
yang menjurus pada kesyirikan haruslah ditinggalkan. Boleh saja mereka
menggelar upacara-upacara tertentu bersama juru kunci tapi itu sebatas upacara
kebudayaan dan tidak boleh dibumbui dengan keyakinan-keyakinan pada selain
Allah. Inilah tugas para ulama masa kini. Di zaman wali songo telah diletakan
dasar-dasar ke Islaman, ulama sekarang tinggal mengembangkan dan menyempurnakan
saja. Tentunya butuh waktu cukup panjang untuk mereproduksi budaya yang telah
melekat ditengah masyarakat, namun seiring dengan kegigihan dan waktu yang
terus berjalan, hal ini sangatlah mungkin untuk dilakukan.
Oleh : Ahmad Kopi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar