MUQADIMAH
Mahasuci
dzat yang telah membolak-balikan hati di atas hamparan cinta sesuai dengan
kehendak-Nya dan untuk apa yang dikehendaki-Nya dengan qudrahNya. Yang telah
mengeluarkan dengan cinta sesuatu yang karenanya setiap makhluk diciptakan
dengan hikmah-Nya. Yang telah menjadikan cinta beraneka ragam di antara para
makhluk-Nya, dan memetakannya di antara mereka, hingga setiap orang yang
dicintai menjadi bagian dari orang yang mencintainya, baik ia mencintainya
dengan benar atau salah.
Kemudian
Allah membagi cinta, ada orang yang mencintai Allah, Arrahman, ada orang yang
mencintai berhala, api, lencana salib, tanah air, saudara, perempuan,
anak-anak, kekayaan-dinar dan dirham, mencintai iman, syair nyanyian dan
Al-quran.
Dengan
cinta dan untuk cinta langit dan bumi diciptakan, semua makhluk diciptakan
diatas fitrah cinta , karenanya semua galaksi memutari poros rotasinya,
dengannya semua gerak aktifitas bisa mencapai tujuannya, titik permulaanya
bertemu dengan titik akhirnya. Dengan cinta jiwa ini mencapai keinginannya,
mendapatkan kebutuhannya, selamat dari jurang kehancurannya, dan meniti jalan
menuju Tuhannya, serta memberikan harapan dan cita-cita kepada orang lain.
Dengan
cinta jiwa bias meraih keindahan hidup, mengecap nikmatnya iman tatkala ia ridha
Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad SAW sebagai Rasul
yang diutus Allah ketika masa kekosongan risalah. Dengannya Allah memberikan
hidayah menuju jalan yang paling lurus dan terang, mewajibkan hambanya untuk
mencintai dan mentaatinya, menghormati dan menunaikan hak-haknya. Allah juga
menutup semua jalan menuju surge hingga tidak dibukakan pintu surge bagi
seorangpun kecuali melalui jalannya.
Tidaklah
berambisi untuk mendapat pahala besar dan keselamatan dari siksaan yang bertubi-tubi,
kecuali orang-orang yang melangkah dibelakang Rasulullah SAW dan tidaklah
seorang hamba beriman dengan sempurna hingga Nabi SAW lebih ia cintai dibandingkan diri, anak,
orang tuanya, dan seluruh manusia.[1]
Salawat
serta salam senantiasa tercurah untukmu wahai utuusan Allah, pembawa risalah
dan uswatun hasanah terbaik sepanjang zaman.
Amma ba’du
Cinta
ibarat kepala, sedangkan takut dan harap adalah harap. Seorang hamba akan mampu
berjalan menuju Allah SWT dengan bekal cinta, rasa takut, dan harap.
Cinta
kepada Allah adalah nutrisi hati dan energy jiwa, penyejuk pandangan dan
kebahagiaan nurani, ia adalah cahaya akal dan pelipur lara batin, ia adalah
dermaga akhir dari semua kapal pengharapan dan angan-angan dan ia menjadi ruh
kehidupan dan kehidupan ruh.
Ia
adalah kehidupan
Siapa
yang menghilangkan maka ia termasuk orang mati
Ia
cahaya,
Siapa
yang kehilangan sinarnya, maka ia berada dalam kegelapan samudra
Ia
obat,
Siapa
yang tidak menelannya,
Maka
hatinya akan digerogoti beragam penyakit
Ia
kenikmatan
Siapa
yang tidak memperolehny
Maka
seluruh kehidupannya adalah kegelisahan dan derita
Ia
adalah ruhnya iman amal dan akhlaq
Ketika
ia terlepas darinya
Maka
seperti jasad tanpa jiwa
Sungguh
hamba yang mencintai Allah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Karena
kebersamaan dengan kekasihnya adalah kesempatan terbaik. Sungguh alangkah
agungnya nikmat ini bagi para pecinta. (Ibnu Al-Qayyim)[2]
BAB
I
PENGERTIAN
MAHABBAH
A.
PENGERTIAN
UMUM
Kata
mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara
mendalam atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam mu’jam al-falasafi,
jamil shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd (benci).
Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau
penyayang. Selain itu al-Mahabbah dapat pula berarti kecendrungan pada sesuatu
yang sedang berjalan, dengan tujuan memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun sepiritual, mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi
dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta pada Tuhan.[3]
Sementara
menurut al-munajjid, mahabbah berasal dari kata Al-hubb, ada yang
mengatakan mahabbah berasal dari kata “shafa” yang berarti bening dan
bersih, pendapat lain mengatakan ia berasal dari kata “al-Habab” (air
yang meluap setelah turun hujan lebat). Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa
mahabbah adalah luapan dan gejolak hati saat dirundung hasrat untuk bertemu
dengan sang kekasih.
Pendapat
lain mengatakan mahabbah berasal dari kata Al-Habbu, artinya inti
sesuatu, biji pohon dan asal muasalnya. Sementara ada yang berpendapat mahabbah
adalah habbatul qulub (buah hati), karena cinta itu bias sampai kebuah
hatinya.[4]
Sedangkan hasil penelitian modern
menyebutkan: rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh
aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon
dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang
merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring
berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek
hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. (sumber: www.detik.com)[5].
B.
PENGERTIAN
KHUSUS (PENGERTIAN PARA SUFI)
Kata
mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada sesuatu paham atau aliran
dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan pada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh
al-Qusyairi sebagai berikut:
“al-mahabbah adalah merupakan hal
(keadaan jiwa) yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan)
Allah SWT, oleh hamba , selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta
kepada yang dikasihi-Nya dan pada hamba yang mencintai Allah SWT.’[6]
Imam
Ibn Al-Qayyim dalam Thibul Qulub menyebutkan tak kurang dari empat belas
definisi yang berbeda mengenai arti mahabbah. Diantaranya yang paling
beliau unggulkan adalah definisi yang di ungkapkan oleh al-junaidi:
“mahabbah yaitu seorang hamba
meninggalkan jiwanya, bersambung dengan dzikir kepada Rabb-Nya, mendirikan
hak-hak-Nya. Dia melihat kepada-Nya dengan hatinya. Hatinya membakar cahaya
haibah, minumannya bersih dari cawan cintanya. Maka dzat yang maha perkasa
membukakan tabir keghaiban untuknya. Jika dia bicara maka dia berbicara dengan
Allah, jika dia berkata, maka dia berkata-kata tentang Allah SWT, jika dia
bergerak maka bergerak dengan perintah Allah. Jika dia diam, maka dia diam
bersama Allah. Maka dia selalu dengan Allah, untuk Allah dan dengan Allah.”
Begitu
banyak definisi tentang cinta, namun demikian menurut ibn al-Qayyim mahabbah
itu tidak dapat didefinisikan dengan jelas dan terang. Definisi-definisi
tentang cinta tidak menambah jelas makna cinta, tapi malah menambah buram dan
kering. Jadi sebetulnya cinta adalah keberadaan cinta itu sendiri, dan cinta
itu tidak bias digambarkan dengan kata yang lain yang lebih jelaqs dari pada
cinta itu sendiri (love is love). Sedang definisi-definisi yang telah
disebutkan adalah sebab-sebab, konsekuensi-konsekuensi, dan tanda-tanda dari
cinta saja.[7]
BAB
II
TINGKATAN
CINTA
Bila dilihat dari objeknya, tentu akan kita dapati
dua jenis cinta, yaitu cinta pada Allah pemilik sekalian alam, dan cinta pada
selain-Nya (harta, keluarga, wanita, jabatan, anak, dsb.). Rasulullah SAW
bersabda: “Ditumbuhkan kesenangan
pada diriku dari dunia berupa wewangian dan wanita (istri)”[8].
Sedangkan Ibn Al-Qayyim Al-jauziyyah membagi cinta
dalam beberapa tingkatan dilihat dari faktor sebab dan tujuan (fungsi) adanya
cinta tersebut, sebagai berikut:
1.
Cinta
Yang Bisa Menepis Bisikan Setan (was was)
Cinta yang kokoh bisa menepis sikap keraguan hati antara yang dicintai
dengan selain-Nya , yang dapat menimbulkan rasa was-was. Alangkah mustahilnya
seseorang yang memiliki cinta murni menuruti bisikan orang lain, karena hatinya
telah terlena dihadapan kekasihnya. Rasa was-was hanyalah dimiliki orang yang
lalai dan berpaling dari Allah. Pada tingkatan cinta yang pertama ini selain
dapat menepis rasa was-was, pemiliknya akan bisa merasakan nikmatnya pengabdian
dan menjadi pelipur lara ketika terjadi musibah.
2.
Cinta
Yang Bisa Mengutamakan Yang Hak
Derajat yang kedua, cinta yang membangkitkan sikap mengutamakan yang haq di
atas yang lain, menggerakan lisan untuk menyebutkan-Nya dan mengikat hati
dengan kesaksiannya. Mahabbah ini muncul
dari hasil penelaahan terhadapsifat-sifat Allah, dari perenungan dari ayat-ayatNya,
juga dari ketertundukan kepada kedudukan.
3.
Cinta
Yang Merenggut Hati
Secara garis besar cinta ini adalah cinta yang merenggut hati semua
pecinta, karena keelokan Dzat atau orang yang dicintainya, cinta seperti ini menolak
adanya isyarat (tidak bisa menerima isyarat dan ibarat) dan tidak bias selesai dengan
pemberian sifat.
Poros semua urusan yang menuju Allah terletak pada
tingkatan cinta yang ketiga. Hal itu karena ia terbebas dari campuran noda,
penyakit, dan tujuan-tujuan tertentu, hanya pemilik cinta itulah yang diinginkan
dan menjadi sasaran utama. (pada tingkat ini, embel-embel pahala, surga atau
neraka sudah tidak memotivasi). Tingkatan cinta yang ketiga ini merupakan kutub semua derajat, diserukan oleh
semua lisan, diakui oleh semua tabiat dan diwajibkan oleh akal sehat.[9]
BAB
III
TANGGA
MENUJU MAHABBATULLAH
A.
JALAN
MENUJU MAHABBATULLAH
Menurut Al-Qusyairi, dalam diri manusia ada tiga
alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb
(اﻠﻗﻠﺏ) hati
sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, kedua, roh (اﻠﺭﻭﺡ) sebagai
alat untuk mencintai Tuhan, ketiga, sir (ﺴﺭ) yaitu alat untuk melihat Tuhan.
Dengan
keterangan tersebut dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah ruh,
yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari
kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.[10]
Sedangkan
tangga menuju mahabbatullah diantaranya:
1.
Membaca Al-quran dengan merenungi
dan memahami makna dan maksudnya.
xsùr& tbrã/ytGt c#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al
Quran ataukah hati mereka terkunci? (QS 47:24)
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
29. Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.( QS 38:29)
2.
Melakukan amal sunnah setelah
amal wajib.
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$#
ÏRqãèÎ7¨?$$sù
ãNä3ö7Î6ósã
ª!$#
öÏÿøótur
ö/ä3s9
ö/ä3t/qçRè 3 ª!$#ur
Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ
31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. 3:31)
3.
Memperbanyak zikrullah dengan
lisan, hati dan perbuatan, dimana dzikrullah adalah seebab terbesar yang
menyampaikan seorang hamba untuk meraih mahabbatullah.
(#rãä.ø$#ur
©!$#
#ZÏWx.
ö/ä3¯=yè©9
tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS. 62:10)
4.
Mengutamakan cinta kepada Allah
dari diri ketika mendapat tekanan hawa nafsu.
5.
Mengakui kebaikan karunia dan
nikmat Allah SWT. baik yang lahir maupun batin.
( ª!$$sù îöyz $ZàÏÿ»ym ( uqèdur ãNymör& tûüÏH¿qº§9$# ÇÏÍÈ
Maka Allah
adalah sebaik-baik Penjaga dan dia adalah Maha Penyanyang diantara para
penyanyang.(QS. 12:64)
ö@è% `tB Nà2àsn=õ3t È@ø©9$$Î/ Í$yg¨Y9$#ur z`ÏB Ç`»uH÷q§9$# 3 ö@t/ öNèd `tã Ìò2Ï OÎgÎn/u cqàÊÌ÷èB ÇÍËÈ
42. Katakanlah: "Siapakah yang dapat
memelihara kamu di waktu malam dan siang hari dari (azab Allah) yang Maha
Pemurah?" Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang berpaling dari
mengingati Tuhan mereka.(QS. 21:42)
6.
Menelaah dan melatih hati mengenal
nama dan sifat Allah SWT.
7.
Pasrah tunduk dan merasa butuh
kepada Allah SWT.
8.
Menyendiri dengan Allah
SWT disaat Dia turun kelangit dunia
untuk bermunajat kepada-Nya.
ô`¨Br& uqèd
ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$#
#YÉ`$y
$VJͬ!$s%ur âxøts
notÅzFy$#
(#qã_ötur spuH÷qu
¾ÏmÎn/u
3 ö@è%
ö@yd
ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w
tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt
(#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
9.
(apakah
kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.(QS. 39:9)
Imam Al-ghazali rahimahullahu taala mengatakan
barangsiapa mengakui tiga hal tanpa melakukan tiga hal maka ia adalah pembohong,
1) barang siapa mengaku cinta surga, namun tidak beramal dengan taat, maka ia
pembohong. 2) barang siapa yang mengaku takut pada neraka dan ia tidak
meninggalkan maksiat , itupun pembohong 3) barangsiapa yang mengaku cinta
terhadap Allah, sementara ia selalu resah akan siksaNya, maka dia adalah
pembohong.[11]
B.
BEBERAPA
KONDISI YANG DICINTAI ALLAH SWT
1.
Berbuat baik. (QS. 2:195)
2.
Menjaga kebersihan lahir batin (QS.2:222)
3.
Sabar (QS.3:146)
4.
Tawakal (QS, 3:159)
5.
Mencintai sesama mukmin dan bersikap tegas terhadap musuh (QS. 5:54)
6.
Bertaqwa
7.
Berlaku adil
8.
Berjuang membela agama Allah dengan semangat persatuan
9.
Menyembunyikan amal kebaikan.
10. Tidak haus harta dan jabatan
11. Mempergunakan nikmat Allah dengan sebaik-baiknya
12. Mencintai dan membenci karena Allah
13. Menjadi hamba yang bermanfaat dan senantiasa
membantu ornag lain
14. Membaca surat-surat pilihan
15. Berbudi pekerti luhur dan mulia, Rasulullah SAW ketika
ditanya,” siapakah hamba yang paling dicintai Allah?”, beliau menjawab ,”Yang
paling baik akhlaqnya.” (HR Thabrani)
BAB
IV
PENUTUP
Sesungguhnya
mahabatillah ini haruslah menjadi ruh dari akhlaq kita, agar tercapai
akhlaq al- karimah, akhlaq yang di ridhai Allah, akhlaqnya para rasulullah.
Lihatlah orang yang akhlaqnya tidak dilandasi kecintaan pada Rabbnya,
mulutnya mengaku beriman sedangkan pandangannya pada keindahan dunia yang
melalaikan tidak dapat ia tundukan, sedangkan pandangan ini akan melahirkan
cinta. Maka mulailah pertautan pandangan turun ke hati yang membuat hati
tertarik pada sesuatu yang dipandangnya, lalu ia menguat dan menjadi kerinduan
yang meluap-luap yang membuat hati lebur seluruhnya ke dalamnya. Lalu ia
semakin kuat hingga menjadikan hati bergelora sehingga membuat hati tertawan
oleh yang dicintai dan tidak dapat terpisahkan darinya. Kemudian ia pun menjadi
penyakit al-Isyq (cinta buta), kemudian menguat menjadi mabuk cinta (saghaf),
kemudian menguat, lalu berubah menjadi tatayyum (penghambaan), sehingga
hati menjadi hamba untuk seseorang (sesuatu) yang tidak layak memiliki hamba.
Sedangkan ia sendiri tidak menghamba pada Allah, (bukankah ini serupa dengan
kesyirikan?).
Lalu
bolehkah kita cinta pada hal-hal duniawi? Tentu boleh karena dalam satu hadits
Nabi SAW mengatakan bahwa beliau juga mencintai wangi-wangian dan wanita
(istri) namun cintanya beliau tak melebihi cintanya pada Allah SWT (mahabbatillah),
karena itu boleh seseorang mencintai sesuatu dari dunia ini asal tidak haram
dan tidak membuat kita lalai dari penghambaan pada Allah SWT. Mencintai istri
atau suami, bertanam, wewangian, dan makanan-makanan tertentu adalah cinta yang
wajar dan manusiawi. Tetapi ketika cinta ini berlebihan dan mengungguli
mahabbatullah maka model mahabbah ini termasuk maksiat dan dilarang.
Intinya
tetaplah jadikan hati sebagai rumah yang indah dan tuan rumahnya adalah mahabbatillah
(cinta pada Allah), cinta-cinta yang lain boleh datang dan singgah, tapi
janganlah cinta-cinta itu engkau jadikan tuan rumah dalam hatimu, cukuplah
Allah sebagai pelipur lara, penyejuk mata dan hiasan jiwa, dunia hanya
pelengkap saja, sekedar alat tuk meraih cinta_Nya. Tiada yang lebih indah,
mulia dan utama selain mahabbatillah, jangan biarkan cinta-cinta
yang buta merendahkan_Nya dan mengusirNya dari dalam taman-taman hati. Tentu
kita malu jikalau kita berjumpa dengan-Nya dalam indahnya kematian, sedang hati
kita dipenuhi oleh perselingkuhan dengan selain-Nya. Jadikanlah mahabbatillah
ini sebagai dasar dari cinta-cinta yang lain, agar cinta yang lain dapat
mengikuti keabadian, ketulusan,dan ketenangannya. Dari hidup yang fana hingga
ke hidup yang abadi. Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Nata,
Abuddin. Akhlak Tasawuf. (Jakarta:Rajawali Pers).1997. cet. II
Al-jauziyah,
Ibnu Qayim. Obat Hati. pent.Tajuddin MA,(Jakarta:Darul Haq). 2007.cet. I
Al-Munajjid, M. shalih. Jagalah Hati Raih Ketenangan. (Jakarta:
Cakrawala Publishing). 2006.cet. I
Muhammad
Arifin Badri, M.A., artikel dipostkan pada http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/cinta-sejati-dalam-islam.html
Imam Al-ghazali. Mukasyafatulqulub
, terj. Fatihudin Abul yasin. (Surabaya:Terbit Terang). tt
[1] Ibn Qayim Al-jauziyah, Obat Hati,
pent.Tajuddin MA,(Jakarta:Darul Haq), 2007,cet. I,h. 368
[2] M.
shalih Al-munajid, Jagalah Hati Raih
Ketenangan, (Jakarta: Cakrawala Publishing),2006,cet. I, hal 319-320
[3]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers),1997, cet. II, hal.
207-208
[4] M.
shalih Al-munajid,________________hal. 320
[5]
Muhammad Arifin Badri, M.A., artikel dipostkan pada http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/cinta-sejati-dalam-islam.html
[6]
Abuddin Nata,_________________h. 208
[7]
Ibnu Qayim Al-jauziyah, Obat Hati, pent.Tajuddin MA,(Jakarta:Darul Haq),
2007,cet. I,h. 351-355
[8] M.
shalih Al-munajid,________________h. 350
[9] Ibnu
Qayim Al-jauziyah,__________________h. 396
[10]
Abuddin Nata,_________________h. 212
[11]
Imam Al-ghazali, Mukasyafatulqulub , terj. Fatihudin Abul yasin, (Surabaya:Terbit
Terang), tt, h. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar