siapa aku?
Aku adalah seorang pemuda yang terlahir dua
puluh tahun lalu di sebuah desa kecil di lereng gunung Slamet, Pemalang, Jawa
tengah. Aku ini anak pertama dari tiga bersaudara. Di tengah kampong kecil aku
terlahir, meski demikian aku memiliki keluarga besar, karena embah-ku dari ibu
punya 15 orang anak, sedang embah-ku dari ayah punya 10 anak, jadi paman dan
bibiku saja ada 23 orang, belum lagi ditambah sepupu2ku, saudara jauh, sanak
family, dan para tetangga, jadi bisa dibayangkan ketika aku lahir orang tuaku
mendapat sumbangan yang cukup lumayan. Sumbangan? Ya, “sumbangan”, sudah jadi
tradisi di kampungku kalau ada jiwa baru yang terlahir ke dunia ini, maka
manusia-manusia yang terlahir lebih dulu akan memberi sumbangan sebagai ucapan
turut berbahagia. Bukan Cuma uang yang mereka bawa, biasanya agar lebih tepat
guna mereka memberi sabun cussons baby, bedak, rinso, popok kain, baju bayi,
kain “jarit” bercetak batik, sampai sarimie dan biscuit roma pun ada (yang
terakhir ini bukan buat sang bayi tentunya). OK. Aku rasa sudah cukup cerita
kelahiranku sebagai Muqadimah tulisan ini. Selanjutnya, sesuai amanah dari
dosen, aku akan bercerita mengenai keluarga, sekolah dan masyarakat di
sekitarku, kaitannya dengan pendidikan dan Agama.
Berbicara mengenai keluarga, sebenarnya
latar belakang keluargaku tidak terlalu spesial. Ayahku hanya tamatan Mts,
sedang ibuku hanya tamatan S1 D1 alias SD, pendidikan Agama yang mereka peroleh
mayoritas berasal dari mengaji pada pak ustad di kampungku yang rata-rata lulusan
pesantren. Selain itu, ayah ku ikut tarekat Sathariyah, sesuai tarekat yang
dianut ayahnya, ibuku pun “nunut” jejak ayah, meski embah-ku yang dari ibu
sebenarnya orang tarekat Qadhiriyah. Memang sudah menjadi kenyataan ketika aku
mulai mengenal dunia, bahwa mayoritas masyarakat di kampung halamanku adalah
penganut Islam yang bercorak sufistik (mistitisme/tarekat). Aku tidak tau
secara pasti sejarah kehadiran tarekat di kampungku tapi yang jelas, model
pengamalan agama bercorak seperti ini sangat diterima di kampungku. Bahkan,
Adik dari ayah ibuku adalah seorang pemimpin tarekat Qadiriyah di kampungku
yang biasa di panggil pak kiyai, mursyidnya sendiri adalah seorang ulama di
daerah Cirebon. Meski mengamalkan ajaran-ajaran tarekat, tapi orang tua dan keluargaku
tak pernah memaksaku untuk mengikuti jejak mereka. Perlu diketahui pula, bahwa
mayoritas masyarakat di kampung halamanku adalah Nahdliyin (masyarakat yang
beraviliasi ke Nahdlatul Ulama).
Semasa kecil, pendidikan agamaku
dipercayakan orang tuaku pada ustad-ustad dikampungku yang mayoritas (kalau
tidak semuanya) masih berhubungan darah denganku. Mereka adalah para lulusan
pesantren nan jauh dari kampungku. Selesai “mondok” mereka akan mengabdi bagi
kampungnya dengan membuka pengajian-pengajian bagi anak dan pemuda setempat.
Selain belajar membaca Al-Qur’an, kami juga mengaji kitab seperti sulamutaufiq, ta’limul mutaalimin hingga
qurratul uyyun bagi yang sudah dewasa. Selain itu, ijazah madrasah juga aku
dapatkan melalui Madrasah Diniyah Awaliyah yang dibuka di kampungku oleh
lembaga Ma’arif NU. Di- Madrasah ini, pengajarnya juga dari ustad-ustad yang
membuka pengajian non formal ditambah beberapa ustad muda yang baru selesai
“mondok” di “pondokan” milik NU. Materi Pelajaran yang diajarkan menjadi lebih kompleks,
dari fiqih, Nahu-sorof, ke-NU-an hingga SKI (Tarikh) pun ada.
Sewaktu kecil, selain mengaji, sekolah dan
bermain, aku sering pula disuruh oleh ayah untuk menggantikannya pergi ke acara
Tahlilan rutin yang diadakan tiap habis jum’atan, bergiliran dari rumah ke
rumah tiap anggotanya. Dalam tahlilan ini, biasanya diawali tawasul, selain
pada Allah, Rasulullah, Sahabat, Tabiin, tabitabiin, alim ulama, habaib, juga
pada para imam (mursyid) Tarekat, yang biasanya bersambung hingga Rasulullah
saw., Jibril as., dan berakhir kepada Allah swt. Setelah itu dilanjutkan
prosesi Yasinan, Tahlilan, doa dan diakhiri dengan makan-makan. Selain itu,
rokok, adalah sajian wajib yang mesti ada saat acara Tahlilan, karena mayoritas
anggota Tahlilan adalah perokok. Melalui tahlilan ini pula, biasanya warga dan tokoh kampung membicarakan
masalah-masalah dan isu-isu terbaru baik dalam maupun luar kampung, dari dalam
hingga luar negeri. Selain mendekatkan aku dengan masyarakat, banyak sekali
manfaat yang bisa aku peroleh melalui acara ini.
Sedangkan pengetahuan umum aku dapatkan
melalui pendidikan dasar dan menengah yang
aku selesaikan di SD dan SMP negeri yang letaknya lumayan jauh dari rumahku. Selain
pengetahuan yang ku peroleh, Melalui sekolah umumlah (terutama SMP) aku
mendapat pengalaman baru bergaul dengan kawan selain NU, terutama teman yang
orangtuanya Muhammadiyah. Akupun mulai mendapati beberapa perbedaan dalam
pengamalan ibadah. Seperti soal Qunut dan Tahlilan. Sebelumnya aku memang sudah
sering mendengar mengenai Muhammadiyah, namun lebih banyak hal negative yang
aku dengar. Paham mereka dianggap tidak benar oleh orang kampungku yang 100%
NU.
Soal ke-Islaman, Selain dari masyarakat dan
sekolah/madrasah, aku banyak mendapat pengaruh dan teladan dari kedua orang
tuaku, karena beliau termasuk orang yang sangat taat menjalankan dan menunaikan
ibadah pada Allah swt. Meski pengetahuan mereka tentang Agama hanya di dapat
dari ustad-ustad dan kiyai kampung. Tapi melalui didikan dan dorongan mereka pula
lah, apa yang ku dapat di Madrasah, sekolah dan pengajian, sedikit banyak dapat
ku amalkan.
Selepas SMP,
aku pindah dan melanjutkan SMA di Kota Tangerang, provinsi Banten. Berhijrah
dari kehidupan kampung yang asri dan bersahaja menuju gemerlapnya nyala
kehidupan perkotaan. Meski menjalani hidup di perkotaan, segala pengalaman
hidup yang pernah ku jalani di kampung, nyatanya masih tetap membekas. Ilmu,
pengalaman, nasihat dan pelajaran dari kampung, telah membangun pondasi
tersendiri dalam jiwaku, meski ragaku, toh harus beradaptasi juga dengan
indahnya perkotaan. Kini ku jalani hari-hari dengan menimba ilmu di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan pendidikan Agama Islam yang
aku tekuni, meski sama sekali tak memiliki latar belakang pesantren, tapi
dengan kuasa Allah dan segala yang diajari orang tua, sekolah dan kampungku,
nyatanya telah mampu mengantarkan hidupku hingga ke titik ini. Syukur, hanya
itu yang ku ucapkan. (AMIQ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar