Pada umumnya, orang akan langsung
mafhum ketika mendengar kata nafkah, bahwa nafkah adalah pemberian suami kepada
istri baik berupa materi (uang, sandang, papan, dsb.) ataupun bukan materi
(perhatian, kasih sayang, dsb.) yang diberikan dengan ikhlas dan merupakan
kewajiban suami terhadap istri. Namun sesungguhnya makna nafkah dapat lebih
luas dari pengertian tersebut. Dalam buku Sulaiman Rasjid (Fiqh Islam: 2009)
disebutkan bahwa memberi nafkah adalah kewajiban bagi seorang suami kepada
istrinya, seorang ayah dan atau ibu kepada anaknya yang masih kecil atau
apabila anaknya miskin dan tak mampu berusaha, anak kepada orang tuanya apabila
orang tuanya itu miskin, seorang kakek atau nenek kepada cucunya apabila tidak
memiliki ayah, seorang peternak kepada hewan ternaknya, dan seorang petani
kepada tanaman yang ia rawat.
Mencari nafkah juga menjadi suatu
kewajiban sebagaimana wajibnya memberi nafkah. Pada umumnya, orang akan mencari
nafkah dengan menjadi pegawai (karyawan, guru, PNS, dsb.), berwirausaha ataupun
berdagang, baik barang maupun jasa. Dalam pencarian nafkah, setiap orang sudah
punya rezekinya masing-masing, dari jalan mana akan ia dapatkan, berapa
besarnya, dan kapan waktu memperolehnya. Oleh karena itu, ada orang yang
kemudian berkecukupan dalam memberi nafkah, ada pula yang sampai melebihi
kebutuhan dan ada pula yang tidak mencukupi kebutuhan hidup diri dan yang
dinafkahinya. Salah satu hal yang harus kita perhatikan dalam urusan nafkah
tentunya bukan hanya jumlah yang mampu kita berikan tapi juga apakah nafkah
yang kita peroleh kemudian sudah memiliki keberkahan di dalamnya?
Paling tidak, Islam dibangun atas
lima dasar yang kemudian dikenal dengan rukun Islam. Salah satu rukun Islam
yang wajib kita tunaikan adalah zakat. Secara garis besar zakat dapat dibagi
menjadi zakat fitrah dan zakat maal (harta). Dalam surat Attaubah : 103, Allah
SWT berfirman:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
“Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Dalam pembahasan ini, kita akan
memfokuskan pembahasan pada salah satu jenis zakat maal, yaitu zakat profesi
atau yang dalam buku Husein Syahatah (Cara Praktis Menghitung Zakat:2005)
disebut sebagai zakat penghasilan. Yang dimaksud zakat profesi ialah kadar
tertentu yang harus dikeluarkan oleh
seseorang dari penghasilan atau gaji yang ia peroleh setelah sampai Nishab nya.
Menurut Husein Syahatah, profesi yang dijalani haruslah profesi yang halal dan
sesuai syariat. Dalam Nishab zakat profesi sendiri, para ulama berbeda
pendapat dalam perhitungannya. Ada ulama yang menyamakannya dengan nisab zakat
emas dan perak, ada pula yang menyamakannya dengan nisab zakat pertanian.
Apabila didasarkan pada nisab emas,
maka seseorang akan dikenakan zakat profesi apabila penghasilannya perbulan
mencapai 85 gram emas. Misalkan saja harga emas 24 karat per gram adalah Rp.
500.000,- maka seseorang akan dikenakan zakat profesi apabila gajinya perbulan
mencapai Rp. 500.000,- x 85= 42.500.000. Zakat yang harus ditunaikan adalah 2,5% dari gajinya.
Sedangkan dalam nisab pertanian yang wajib dizakati adalah apabila telah
mencapai 5 wasaq atau setara dengan 653 kg makanan pokok. Apabila kita
konversikan ke beras. Rata-rata harga beras saat ini ialah delapan ribu rupiah.
Maka 653 kg x 8.000= Rp. 5. 224. 000,-. Meskipun di dasarkan atas nisab
pertanian namun pengambilan besaran zakatnya tetaplah 2,5% dari gaji yang
diperoleh. Zakat ini dibayarkan setiap bulan atau setiap memperoleh gaji.
Selain dalam nisabnya, para ulama
juga berikhtilaf dalam menentukan apakah ketika menghitung zakat profesi ini,
gaji dipotong kebutuhan hidup dan piutang terlebih dahulu ataukah tidak. Dalam
hal ini, penulis berpendapat bahwa alangkah lebih bijak dan lebih baik apabila
kita mengeluarkan zakat dari keseluruhan harta yang kita peroleh. Kalaulah kita
mengeluarkan zakat setelah dipotong kebutuhan hidup dan piutang, maka jumlah zakat
yang kita keluarkan tentunya akan semakin kecil. Maka apabila kita mengeluarkan
zakat lebih besar dari yang seharusnya kita bayarkan, maka kelebihan dari zakat
itupun akan menjadi shodaqah. Begitupun dengan nisab yang kita pakai, apabila
kita menggunakan nisab emas, maka tidak terlalu banyak orang yang mencapai
nisab zakat profesi dalam keadaan bangsa kita seperti sekarang ini. Maka
penulis lebih cenderung menggunakan nishab pertanian.
Zakat sebagai pembersih diri dan
harta kita, tentunya akan lebih menenangkan apabila dapat kita tunaikan.
Apalagi apabila harta yang kita zakati tersebut adalah nafkah untuk keluarga
dan anak-anak kita, tentunya kita ingin agar nafkah tersebut adalah nafkah yang
bersih dan berkah. Nafkah yang ketika dikonsumsi akan menjadi energi-energi
kebaikan dan mendorong kepada akhlakul karimah. Semakin baik (sehat, suci dan
proporsional) apa yang kita makan, maka akan semakin baik pula lahir dan batin
kita. Seperti arti zakat itu sendiri, semoga dengan kita membayar zakat dari
gaji kita, maka harta kita akan semakin tumbuh dan akhlak keluarga kita akan
semakin suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar