Akar-Akar Radikalisme
29-March-2006
Radikalisme, bahkan terorisme agama,
pasca 11 September selalu diidentikkan dengan Islam. Pers Barat menuduh
semena-mena bahwa Islam mengajarkan radikalisme. Tentu saja persepsi negatif
ini dibantah mati-matian oleh para ulama dan pemimpin dunia Islam. Tidak hanya
kalangan Islam, pemikir Barat yang mendalami Islam menyalahkan pengidentikan
Islam dengan kekerasan.
Pengidentikan Islam dengan
radikalisme, tidaklah muncul dari ruang hampa. Persepsi negatif ini lahir dari
ulah sekelompok umat Islam yang melakukan kekerasan atas nama agama. Jadi,
menyalahkan pers Barat sebagai biang keladi pengidentikan Islam dengan
terorisme tidaklah fair. Umat Islam harus introspeksi diri.
Selama ini, dari “hilir mudiknya”
informasi di telinga kita, Barat terkesan melihat fenomena “radikalisme Islam”
bersumber dari ajaran Islam. Agama Islam dianggap sebagai motivator dan
penyebab satu-satunya kekerasan atas agama, dan menafikan faktor lain seperti
kondisi sosial, politik, dam ekonomi di negara tertentu.
Amien Rais, di sela seminar “agama,
radikalisme, dan multikulturalisme” di Universitas Muhammadiyah Magelang
(24/03/06), mengatakan bahwa radikalisme tidaklah diinspirasikan oleh ajaran
agama Islam. Radikalisme muncul dari penderitaan sosial, politik, dan ekonomi
yang dialami anak bangsa.
Dalam meneliti sumber radikalisme
agama, menurut Amien Rais, Barat tidak menggunakan hukum kausalitas
(sebab-akibat). Barat hanya melihat jargon-jargon yang diteriakkan kelompok
radikal, tapi tidak menggali akar penyebab dari semua itu.
Pernyataan Amien bahwa radikalisme
tidak bersumber dari ajaran Islam, tapi lebih banyak disebabkan oleh faktor
penderitaan sosial, politik, dan ekonomi mirip pernyataan Emil Salim dalam
dialog interaktif dengan RRI pada tanggal 22 Maret 2006. Menurutnya, kekerasan
atau terorisme tidak ada kaitannya dengan agama tertentu. Ia muncul sebagai
respons dari kelompok tertinggal dan miskin kepada golongan yang lebih mapan
dari segi ekonomi.
Emil mencontohkan Palestina dan
Israel. Konflik ini murni disebabkan ketimpangan yang parah antara ekonomi
masyarakat Palestina dan Israel. Kekerasan yang sama juga terjadi di
negara-negara Barat, seperti keributan di Prancis antara penduduk pribumi dan
pendatang. Perbedaannya dengan negeri-negeri Muslim, pemerintah negara-negara
Barat bisa memberikan jaminan-jaminan sosial sehingga ketimpangan ekonomi bisa
terkurangi.
Pernyataan dua tokoh di atas benar
adanya. Radikalisme atau terorisme tidaklah lahir dari ajaran Islam. Ia mencuat
sebagai respons atas permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi
oleh masyarakat tertentu.
Munculnya “radikalisme Islam” jangan
dipisahkan dengan konstelasi politik global saat ini. Jika kita membaca
radikalisme Islam dalam konteks global, ia adalah perjuangan untuk merobohkan
ketidakadilan yang menimpa negeri-negeri Muslim.
Ungkapan Amien di sela seminar di
Magelang menarik untuk kita kutip di sini. Ia menganjurkan kelompok-kelompok
Islam agar tidak berpikiran sempit, karena perjuangan tidak akan selesai dalam
semalam. Dibutuhkan persiapan kekuatan multidimensional agar perjuangan bisa
sukses.
Citra Islam sebagai agama rahmatan
lil ‘alamin hilang karena perbuatan sekelompok umat yang melakukan kekerasan
atas nama Tuhan. Padahal Tuhan tidak membenarkan manusia membuat kerusakan dan
membinasakan manusia tak berdosa, apa pun alasannya.
Memulihkan citra Islam adalah
tanggung jawab kita semua, peratuan dan kesatuan umat Islam mutlak diperlukan
untuk menyelesaikan misi ini. Kekerasan atas nama Islam bukanlah obat penyakit
islamophobia yang saat ini di derita oleh sebagian kelompok orang di Barat.
(CMM/deny)
Bom Cirebon: Ekses Kemajuan Komunikasi yang Melahirkan Radikalisme pada Perubahan Sosial
OPINI | 25 April 2011
| 16:40 25 0 Nihil
Lebih dari seratus artikel di Kompasiana ini yang
telah mengulas peristiwa meledaknya Bom bunuh diri di
Cirebon. Kejadian ini menimbulkan reaksi yang beragam, ada yang mengutuk,ada
yang kasihan pada keluarga bomber karena harus menanggung aib dan ada
yang mempertanyakan kenapa anak muda rentan terhadap aliran keras sehingga
bersikap radikal dan melakukan bunuh diri.
Memang Bom yang menyalak di Cirebon pada
tanggal 15 April 2011 yang dilakukan oleh anak muda bernama
M. Syarif Astanagarif, umur 32 tahun itu sangat
mengejutkan berbagai pihak. Peristiwa itu terjadi di Mesjid
Al-Daikra, kantor Polresta Cirebon Jawa Barat. Ada dua hal
penting disini yang melahirkan pertanyaan mendalam yaitu kenapa Bom di Mesjid
dan kenapa di kantor polisi.
Mungkin banyak analisis yang bisa dilakukan
terhadap peristiwa di atas, karena peristiwa ini bisa dikaji dari dari sudut
psikologi, sosiologi, dan logi-logi yang lainnya. Kejenuhan yang
terjadi di ranah politik dan sosial serta bosan terhadap ritorika dan
berbagai kedangkalan jiwa dalam proses perubahan sosial dewasa ini, juga
dapat dijadikan alat analisis untuk membaca fenomena radikalisme
yang menjangkiti anak-anak muda.
Tulisan ini ingin mencoba membaca fenomena
radikalisme yang terjadi akhir-akhir ini dari sudut pandang
filsafat komunikasi, tepatnya peran komunikasi dalam melahirkan radikalisme
pada perubahan sosial.
Dewasa ini terjadi perubahan mendasar dalam
kehidupan manusia, perubahan itu terjadi ditingkat nilai karena terjadi
perubahan konsep ruang dan waktu. Perubahan konsep ruang dan waktu ini
disebabkan karena kemajuan teknologi komunikasi informasi.
Dengan teknologi komunikasi dan informasi
seperti internet, komunikasi tidak lagi mensyaratkan kesatuan waktu
dan ruang. Waktu dan ruang berpisah, ketika waktu dan ruang berpisah, timbul
percepatan dan dunia bergerak dengan cepat. Percepatan menimbulkan kerja
yang berdesakan dan lahirlah hal-hal yang instan. Semua orang
tungang-langgang mengejar masa depan yang tidak bernama.
Gelombang peradapan manusia sedang
mengalami keadaan yang gonjang ganjing. Kekerasan dan ketidakadilan merajalela.
Konflik kepentingan terjadi diberbagai lini kehidupan. Kemajuan teknologi
komunikasi informasi melahirkan reaksi beragam. Bagi sebagian
orang kemajuan ini dilihat sebagai alat membuat pikiran
terbuka tetapi bagi sebagian orang melihat kemajuan ini sebagai
ancaman sehingga muncul pendalaman ideologi yang fundamental
dan lahirlah doktrin yang beraliran keras. Kejenuhan yang terjadi di ranah
politik dan social serta bosan terhadap ritorika dan berbagai kedangkalan
, maka anak muda rentan terhadap doktrin beraliran keras .
Bagaimana hal demikian bisa terjadi, dengan
teori memetika kiranya dapat dijelaskan. Satu hal penanda manusia
adalah kesadarannya. Unsur utama dari kesadaran adalah meme ( baca :
mem), dan studi mengenai meme ini melahirkan teori memetika.
Teori memetika ini didasarkan pada teori evolusi
Charles Darwin, yang dikembangkan oleh Richard Dawkins . Bila teori
evolusi Darwin berkisar pada perubahan tubuh yang digerakkan
oleh gene (baca : gen) , teori Dawkins adalah teori perubahan dalam
peristiwa sosial budaya, dimana Dawkins meyakini bahwa peristiwa social
budaya mengalami evolusi seperti evolusi biologi dalam teori Darwin.
Bila dalam teori Darwin evolusi biologi digerakan
oleh gene, dalam teori Dawkins perubahan peristiwa sosial budaya
digerakan oleh unsur kesadaran manusia yang disebutnya meme. Seperti gene,meme
memiliki fungsi untuk melakukan pengganda diri sendiri (replicator) yang
menggandakan diri dalam otak manusia . Meme adalah suatu unit
informasi yang tersimpan di benak seseorang yang mempengaruhi
lingkungannya dan dapat menular secara luas ke benak
lain dan mempengaruhi sikap dan tindakan sosial budaya.
Teori memetika dapat menjelaskan mengapa
suatu aliran keras terus diproduksi dan diterima oleh orang –orang
walaupun mereka sadar akan bahayanya. Jawabannya adalah karena meme
yang telah tertanam dalam benak orang dan menggandakan diri sekaligus merebut
kesadaran si pemilik benak.
Richard Brodie dalam bukunya Virus
of mind (1996) memperluas teori ini. Dia mengatakan bahwa ada
3 jalur yang digunakan meme dalam menulari benak orang, yaitu :
- Repetition (pengulangan). Indoktrinasi yang diulang-ulang sehingga indoktrinasi itu terasa akrab dan merupakan bagian dari program diri. Anak muda sangat rentan terhadap indoktrinasi.
- Cognitive dissounance (ketegangan ). Bila orang berada dalam ketegangan dan merasa tidak nyaman, dan bila muncul suatu doktrin baru yang bisa mengendurkan ketegangan itu ,maka doktrin baru itu akan didukung dan doktrin lama dibuang.
- Free ridding ( menunggangi). Bila orang nyaman dengan doktrin baru maka doktrin baru itu akan menunggangi nalurinya. Ajaran –ajaran lama (leluhur) sudah tidak menarik lagi, karena muncul doktrin baru yang diperdengarkan nyaris sempurna, dan meminta orang percaya buta.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
dalam komunikasi bisa terjadi evolusi yang digerakkan oleh meme yang
mempengaruhi kesadaran manusia dan dalam perubahan social Komunikasi berperan
melahirkan Radikalisme .
Kemajuan teknologi mempercepat sampainya
informasi kepenjuru kehidupan. Media televise yang secara terus menerus
memberitakan tentang kekerasan tanpa sadar melakukan repetition untuk membentuk
suatu indoktrinasi. Media masa baik cetak maupun eletronik yang selalu memberitakan
tentang ketidak adilan yang dilakukan pihak penguasa, pengusaha dan kelompok
kuat lainnya terhadap kelompok yang lebih lemah, seperti melakukan sebuah
doktrinisasi yang berfungsi menularkan meme ke khalayak luas.
Berdesakannya
informasi secara meluas, baik dari segi kuantitas maupun kualitas menyebabkan
timbulnya ketegangan didalam masyarakat menyebabkan mudahnya tumbuh
doktrin-doktrin baru yang seakan menjadi solusi yang paling tepat. Pada
akhirnya doktrin-doktrin baru itu menunggangi masyarakat luas untuk melakukan
sesuatu hal yang kita sadari itu sebagai sebuah radikalisme yang berujung
seperti Bom Cirebon.
Jika kita menyadari kondisi ini secara purna,
dapat disimpulkan bahwa kemajuan teknologi, ditambah lagi kebebasan media yang
mengunggangi eforia berdemokrasi di Indonesia, memiliki peran penting untuk
timbulnya Radikalisme sebagai sebuah ekses negative dari sebuah kemajuan dan
keterbukaan.
JAKARTA, KOMPAS.com — Rektor Universitas Paramadina Anies
Baswedan mengatakan, radikalisme saat ini sudah semakin mengkhawatirkan dengan
berkembang di berbagai institusi pendidikan.
Oleh karena itu, menurut Anies, terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh insitusi pendidikan agar dapat mencegah permasalahan
tersebut. Salah satunya adalah menindak tegas guru-guru yang menoleransi
kekerasan di dalam kelas.
Menurut Anies, menoleransi kekerasan dalam kelas dapat menimbulkan efek yang
buruk bagi psikologis anak-anak. "Jika ada guru-guru yang menoleransi
kekerasan dalam kelas, atas nama apa pun, mereka harus ditarik keluar kelas.
Mereka itu harus dibina kembali," ujar Anies di Universitas Paramadina,
Jakarta, Rabu (4/5/2011).
Selain itu, lanjut Anies, insitusi pendidikan juga harus memonitor semua
kegiatannya, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Anies menilai, saat ini
banyak kasus bermotif radikalisme muncul dalam kegiatan ekstrakurikuler.
"Misalnya, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang ada di kampus agar kita
bisa tahu apa saja kegiatan mereka," ujar Anies.
"Hal itulah yang fundamental karena itu persoalannya di akar rumput.
Jadi, kalau hanya ngomongin hukum dan undang-undang saja, itu tidak
akan selesai," katanya.
Penanganan Radikalisme tak Bisa Parsial
JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil
Siradj, menyatakan penanganan radikalisme agama tidak mungkin dihadapi secara
parsial. Soalnya, problem radikalisme agama terdapat di seluruh bagian, dari
hulu ke hilir. "Sebagai kesatuan paham dan gerakan, radikalisme agama
tidak mungkin dihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial," kata
Said Aqil dalam acara bedah buku Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Perdamaian di gedung PBNU, Jakarta, Selasa (19/4).Dikatakannya dalam lansiran
Antara, untuk mengatasi radikalisme agama, dibutuhkan perencanaan kebijakan dan
implementasi yang komprehensif dan terpadu. Beberapa faktor yang menyebabkan
terorisme masih terus berkembang, di antaranya kemiskinan, kebodohan, balas
dendam, dan pemahaman Islam yang salah."Saya memandang penanganan
radikalisme agama idealnya menempuh langkah legal formal dan langkah kebudayaan
sekaligus," kata Said Aqil. Pendekatan legal formal...
http://koran.republika.co.id/koran/210/133598/Penanganan_Radikalisme_tak_Bisa_Parsial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar