ILMU MUKHTALIF
AL-HADITS
A.
PENGERTIAN
DAN KEGUNAAN ILMU MUKHTALIF AL-HADITS
Kata-kata Mukhtalif
artinya yang berselisih atau yang bertentangan. Hadits Mukhtalif berarti hadits yang bertentangan antara satu
dengan yang lainnya. Boleh juga dibaca hadis Mukhtalaf, artinya hadis yang diperselisihkan dengan hadis lainnya.
Pengertian
hadis mukhtalif menurut al-Nawawi sebagaimana dikutip oleh al-suyuti adalah dua
buah hadis yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (namun makna
sebenarnya bukanlah bertentangan) ,untuk mengetahui makna sebenarnya keduanya
dikompromikan atau ditarjih (untuk mengetahui mana yang kuat diantaranya).
Menurut
pendapat ulama yang lain disebutkan bahwa mukhtalif
al-hadits ialah “hadis shahih atau hasan (maqbul) yang secara lahiriah
tampak saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Namun makna yang
sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya dapat diselesaikan
dengan metode kompromi (jama’), naskh ataupun tarjih.”
Jadi ilmu mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu
yang membahas hadis-hadis yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi dapat
dikompromikan, baik dengan cara di-taqyid
(pembatasan) yang mutlak, takhsish al-‘am
(pengkhususan yang umum), atau dengan yang lain. Tujuan ilmu ini ialah mengetahui
hadis mana saja yang kontradiktif antara yang satu dengan yang lainnya dan
bagaimana cara pemecahannya atau langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama
dalam menyikapi hadis-hadis yang kontra tersebut sehingga hilang kesan
kontradiktif pada hadis-hadis tersebut.
B.
LANGKAH-LANGKAH
PENYELESAIAN HADITS MUKHTALIF
Secara global metode (manhaj) penyelesaian hadis-hadis mukhtalif
dirumuskan oleh para ulama hadis kedalam empat metode yaitu : pertama, metode
al-jam’u (mengompromikan dua dalil yang tampak bertentangan untuk diamalkan
dua-duanya). Kedua, metode al-Tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua dalil
yang tampak bertentangan). Ketiga, metode al-nasakh (menghapus salah satu dari
dua dalil yang tampak bertentangan). Keempat, metode al-Tasaqut (menggugurkan
atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan menyerahkan pada hokum ashal),
atau dalam istilah ibn Hajar, disebut dengan metode al-tawaqquf (tidak
mengamalkan kedua dalil (menangguhkan) sambil menunggu petunjuk dari Allah Swt
dalam menyelesaikan pertentangan tersebut).
Berikut
adalah metode dari beberapa ulama yang digunakan dalam menyelesaikan masalah
mukhtalif al-hadits.
a.
Metode
Imam As-syafi’i
Ø Pertama beliau merumuskan berdasarkan kompromi (al-jam’u wa
al-taufiq), artinya mengkompromikan satu dengan yang lainnya sehingga kandungan
makna kedua hadits dapat ditemukan titik temunya
Ø Kedua, metode al-naskh (mengkaji apakah hadis tersebut terkait
nasikh dan mansukh atau tidak)
Ø Ketiga, bila terbukti ada kaitannya dengan soal nasikh dan mansukh
maka diselesaikan dengan metode al-tarjih (mana yang lebih kuat)
Ø Metode imam assyafii sedikit berbeda dengan mayoritas ulama
Hanafiyah yang lebih memakai urutan prioritas penggunaan metode dari al-nasakh,
al-tarjih, al-jam’u dan kemudian al-tasaqut (menggugurkan), yakni tidak
mengamalkan kedua dalil tersebut.
b.
Metode
Ibn Qutaybah
Metode yang sering digunakan oleh beliau adalah metode al-jam’u dan
al-tarjih, dengan teknik mentakhrij hadis terlebih dahulu. Menurutnya hakikat
pertentangan dalam nash sesungguhnya tidak ada. Kontradiktif itu hanya timbul
pada persepsi manusia yang menjadi obyek dari kedua sumber tersebut.
Dalam menyelesaikan hadis yang kontradiktif beliau menempuh langkah
praktis sebagai berikut:
Ø Analisa kebahasaan pada tiap-tiap lafaz hadis secara mendetail
Ø Berargumentasi dengan syair-syair dan perkataan pujangga arab guna
menganalisis otentisitas makna lafaz hadis yang memakai bahasa arab
Ø Analisa kebahasaan terhadap lafaz-lafaz yang janggal atau sulit
dipahami oleh orang arab sendiri
Ø Berdalil kepada Al-Quran sebagai konfirmasi dan justifikasi
Ø Berdalil kepada hadis yang lain sebagai pendukung dan pembanding
analisanya
Ø Menghindari adanya perbedaan yang ekstrim diantara kedua hadis yang
dijama’ (dikompromikan)
c.
Metode
At-Thabary
Metode praktis yang beliau lakukan adalah sebagai berikut:
Ø Menganalisa sanad hadis dan kualitasnya terlebih dahulu
Ø Analisis matan /makna hadis secara detail dan mendalam
Ø Menganalisis Maqasid Al-Syari’ah dalam hadits dimaksud
Ø Menggunakan pendekatan ilmu sejarah dan psikologi
Ø Memperhatikan korelasi dan interelasi teks dan konteksnya
d.
Metode
Al-Thahawy
Berdasarkan kitab yang beliau susun[1],
terlihat sistematika penulisan atau penyusunan sebagai berikut:
Ø Setiap masalah atau tema diberi hadis yang tampak bertentangan
disertai keterangan sanad hadisnya
Ø Dianalisis lafadznya dan kemudian dijelaskan kedua hadis yang
tampak bertentangan dengan cara kompromi dengan syarat kedua hadis pada derajat
yang shahih
Ø Bila keduanya shahih tapi sulit dikompromikan maka digunakan teori
nasakh mansukh
Ø Bila biografi perawi hadis dan asbab al-wurudnya susah diketahui
maka digunakan metode tarjih.
e.
Metode
Ibn Faurak
Dalam kitabnya[2]
beliau membagi sabda Rasulullah menjadi dua bagian:
1.
Sabda
Nabi SAW yang berdiri sendiri dan dijelaskan secara implisit oleh teksnya
sendiri
2.
Sabda
Nabi SAW yang memerlukan penjelasan dengan kalimat tersendiri diluar teksnya
Dalam mentakwil musykil hadis beliau menggunakan metode sebagai
berikut:
Ø Memahami tema dan konteks sosio historis dari hadis yang musykil
(terutama dalam hal teologi)
Ø Berargumentasi dengan Al-Quran sebagai justrifikasi atas
interpretasinya
Ø Berargumentasi dengan kebiasaan bahasa yang lazim dipakai oleh
orang arab ddalam memahami teks dan berwacana.
f.
Metode
Ibn Al-Shalah
Sebagai tokoh di bidang hadis, ibn
shalah banyak karyanya di antaranya adalah kitab ulum al-hadis li ibn
shalah. Dalam kitab inilah dia menjelaskan metode penyelesaian hadis
mukhtalif yang pertama. Menurut ibn shalah metode penyelesaian hadis mukhtalif
yang pertama adalah al-jam’u. jika tidak memungkinkan al-jam’u, di
tempuh cara kedua yaitu al-nasikh wa al-mansukh. Apabila cara ini tidak
memungkinkan juga, maka dilanjutkan dengan metode ketiga yaitu al-tarjih.
Metode ibn shalah di atas, kemudian
disempurnakan oleh ibn hajar al-asqalani yang bernama Ahmad b. Ali b. Hajar
Al-Asqalani. Dia adalah tokoh hadis yang hampir sezaman dengan ibn Taimiyah.
Metode yang disempurnakan ibn Hajar selain al-jam’u, al-nasikh wa al-mansukh, dan al-tarjih
adalah al-tawaqquf, yang berarti tidak mengamalkan kandungan hadis
yang tampak bertentangan tersebut, sambil menunggu datangnya petunjuk dari Allah
SWT.[3]
g.
Metode
ibn Taimiyah
Pada masalah metode penyelesaian
hadis mukhtalif secara umum , ibn Taimiyah menggunakan metode al-jam’u,
al-tarjih, dan al-nasakh secara berurutan. Langkah seperti ini juga digunakan
ibn Taimiyah dalam penyelesaian hadis al-tanawwu’ fi al-‘ibadah . Namun karena
dalam masalah ini mayoritas berdasarkan hadis yang shahih maqbul, tampaknya Ibn
Taimiyah hanya menggunakan metode al-jam’u wa al-taufiq baina al-hadis
al-mukhtalifah fi al-ibadah (komprromistis) saja.
Selanjutnya ibn taimiyah hanya
berijtihad Untuk membuat klasifikasi pengutamaan (penentuan yang lebih utama
[al-afdal] dan yang diutamakan [al-mafdul] dari masing-masing hadis) mengenai
pengamalan ajaran yang terdapat dalam hadis-hadis al-tanawwu’ fi al-‘ibadah
tersebut, bagi pembaca maupun pelakunya (yang mengamalkan ajaran Nabi SAW).
C.
PAKAR ILMU MUKHTALIF AL-HADITS DAN
KARYA-KARYANYA
Pada abad kedua
sampai abad ketiga hijriyah, ilmu mukhtalif al-hadits ini masih saja hanya ada
dalam bentuk praktisnya, belum merupakan suatu teori yang dapat diwarisi secara
tertulis. Barulah kemudian imam Muhammad ibn idris al-Syafii (150-204 H)
membuka lembran baru sejarah perkembangannya dari yang sebelumnya tidak
tertulis menjadi tertulis, yakni dengan menuangkan teori penyelesaian
hadis-hadis mukhtalifnya dalam sebuah karya berjudul Ikhtilaf Al-Hadits.
Langkah al-Syafii
tersebut kemudian diikuti oleh Imam al-Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaybah
(213-276 H), yang juga menulis kitab khusus tentang hadis-hadis mukhtalif dan
penyelesaiannya, dengan judul Ta’wil
Mukhtalif Al-Hadits. Beliau menyusunnya untuk menyanggah musuh-musuh hadits
yang meluncurkan beberapa tuduhan kepada ahli hadits dengan sejumlah
periwayatan beberapa hadits yang tampak saling bertentangan. Beliau menjelaskan
hadits-hadis yang mereka klaim saling kontradiktif dan memberikan tanggapan
terhadap kerancuan-kerancuan seputar hadhis itu.Setelah itu muncul pula al-Thahawy
(239-321 h) dengan kitabnya Musykil
Al-Asar yang telah dicetak di India tahun 1333 H, Imam Al- dan terdiri dari
empat jilid. Muhadits Abu Bakar Muhammad ibn Al-hasan (ibn aurak) dengan
kitabnya Musykil al-Hadis wa Bayanuhu (telah
dicetak di India tahun 1362 H), dan sejumlah tokoh lainnya termasuk juga Ibn
Taimiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar