Syekh
Yusuf Al-Makassari
GURU
TAREKAT, PEJUANG DAN PENGEMBARA ILMU SEJATI
Oleh :
Ahmad Mustomi Inal Qirom (109011000099)
1.
Biografi
Singkat Syech Yusuf Tajul Khalwati
Adalah Syekh Yusuf, putera asli Makassar,
lahir di Kerajaan Gowa pada tahun 1626 M. Dari asal usulnya, beliau merupakan
keturunan bangsawan di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian
kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa dan Bone.[1]
Dalam
sumber lain disebutkan bahwa Syeikh Yusuf lahir tahun 1626 di Goa, Sulawesi
Selatan. Ayahnya, Abdullah, bukan bangsawan, tetapi ibunya, Aminah, keluarga
Sultan Ala al-Din. Dia dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab,
fikih, tauhid. Pada usia 15 tahun dia belajar di Cikoang pada seorang sufi,
ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana. Saya tahu dari
sejarawan Belanda, Van Leur, betapa agama Islam dibawa ke Indonesia pada
mulanya oleh pedagang-pedagang Islam yang sekaligus adalah sufi. Kembali dari
Cikoang Syeikh Yusuf menikah dengan seorang putri Sultan Goa, lalu pada usia 18
tahun dia naik haji ke Mekkah sekalian memperdalam studi tentang Islam.[2]
Menurut Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo dikeluarkan oleh
Ligvoet, Syekh Yusuf Makasar dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun)
adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia yang lahir dari pasangan
Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan
oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat
ibu Syekh Yusuf. Nama lengkapnya setelah dewasa adalah Tuanta' Salama' ri Gowa
Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni.[3]
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng
Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-lawi
bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu
pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia
bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan
Ageng Tirtayasa), yang kelak
menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin
Ar-Raniri dan mendalami tarekat
Qodiriyah.
Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah
Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu
Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.[4]
Selain ulama, syekh Yusuf juga merupakan
pejuang yang militant, hingga ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan
diasingkan ke beberapa daerah. Sampai 1694 ia dibuang ke Selon. Kemudian ia
dipindahkan ke Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dengan 49 pengikutnya.
Sampai akhirnya beliau meninggal tahun 1699 di Tanjung Harapan/Capetown, Afrika
Selatan.[5]
Seperti telah diceritakan di atas, bahwa Syekh
sangat rajin menuntut ilmu dari mulai Yaman, Mekkah hingga Madinah pernah ia
datangi, bahkan menetap hingga waktu yang lama di tempat-tempat tersebut. Dalam
perjalanannya ke Yaman, dia berhenti beberapa waktu di Aceh, salah satu pusat
ilmu agama kala itu. Di sana dia memperdalam ilmu tasawuf dan memperoleh ijazah
dari seorang syaikh tarekat Qadiriyah pada masa al-Raniri. Kemudian dia
melanjutkan perjalanannya ke Haramain dan bermukim beberapa beberapa tahun
mendalami ilmu-ilmu tasawuf dan tarekat sampai mendapat ijazah sufi dari
seorang tarekat Syattariyah. Kemudian dia hijrah ke Damaskus dan berhunbungan
dengan Syaikh-Syaikh tarekat dan mempelajari tarekat Khalwatiyah. Barangkali
kepakarannya dalam tarekat tersebut membuatnya dijuluki Syaikh Taj Al-Khalwaty
Al-Makassari.
Syaikh Yusuf kembali ke Indonesia tahun 1672 M.
tetapi situasi politik di negerinya, Makasar, menuyebabkan dia mengurungkan
niat dan memilih menetap di Banten, hingga menikah dengan puteri sultan Banten
dan menjadi seorang Syaikh yang bersuara lantang dan berpengaruh. Dengan
ketinggian ilmunya dia bisa menghimpun ribuan murid di sekitarnya. Ketika
terjadi perselisihan antara kesultanan dan Belanda, dia menjadi pemimpin perang
bersama murid-muridnya dan angkatan perang sultan. Akan tetapi, Syaikh pun
menjadi tawanan dan diasingkan ke Srilanka pada tahun 1099 H dalam usia 57
tahun. Syaikh menetap di Ceylon (Srilanka) beberapa tahun dan menghabiskan
waktu dengan belajar dan mengarang. Disana dia mengenal ulama seperti Syaikh
Ibrahim Minhan yang meminta Syaikh menyususn kitab tasawuf yang menjelaskan
hubungan antara murid dan syaikh.
Ketika terjadi bentrokan di jawa, Belanda
menuduh Syaikh sebagai penyebabnya dan kemudian dia diasingkan lagi untuk kedua
kalinya ke Afrika Selatan hingga wafat di pengasingan.[6]
Menurut sejarah Gowa, al-Makassari dilahirkan
1037/1627 di Tallo wilayah kerajaan Gowa dan meninggal di Tanjung Harapan
Afrika Selatan pada 22 Zulkaidah 1111 H/22 Mei 1699 M, dikuburkan di Faure di
perbukitan pasir False Bay tidak jauh dari tanah pertanian Zandvliet. Pusaranya
dikenal sebagai Karamat tempat beribu-ribu peziarah yang menghormati
tokoh yang mulia ini. pada tahun 1699 keturunan dan pengikutnya kembali ke
Nusantara. Pada 1705 kerangka jenazah al-Makasari tiba di Gowa, lalu dimakamkan
di Lakiung. Pusara al-Makassari kedua inipun menjadi tempat ziarah di Sulawesi
Selatan.[7]
2.
Pemikiran Syaikh Yusuf Al-Makassary : Perpaduan Bermacam Tarekat
Sebagai seorang penganut tarekat
Syekh Yusuf Makasar adalah sufi yang luar biasa, karena begitu banyak tarekat
yang telah beliau pelajari, diantaranya ialah Khalwatiyah, Nakshabandiyah,
Shatariyah, Dasukiyah, Shadiliyah, Jistiyah, Rifaiyah, Aidurisyah, Ahmadiyah,
Suhrawardiyah, Kabrutiyah, Maduriyah, Mahdumiyah, Madyaniyah, Kawabiyah, dan
syekh-syekh kepercayaan bangsa Arab.[8]
Diantara pemikiran Syaikh terdapat
dalam risalah kecil, antara lain al-Barakah al-Sailaniyyah, Bidayah
Al-Mubtadi’, Qurrah Al-‘Ain, Sirr al-Asraar, Daf al-Bala’, Ghayah al-Ikhtisar
wa Nihayah al-Intizhar, dll.
Berikut beberapa petikan paragraf
ungkapannya:
“ Apabila seseorang mengatakan
kepada kamu, ‘Bagaimana kamu memungkiri wujud alam, sedangkan kamu melihat
dengan mata kepalamu sendiri adanya itu, tanpa sedikitpun keraguan?” jawaban
orang-orang ‘arif adalah, “wujud hakiki ialah wujud yang berdiri sendiri,
sedangkan wujud yang kita jalani bukan wujud hakiki, melainkan wujud bayangan
saja.” Kemudian syaikh melanjutkan uraian tentang konsep al-a’yan al-tsabitah,
yang seluruhnyab mengacu pada Ibn ‘Arabi.[9]
Al-Makassari adalah seorang ulama
yang luar biasa, terutama adalah seorang sufi, juga seorang mujadid dalam
sejarah Islam Nusantara. Tasawufnya tidak menjauhkan dari masalah-masalah
keduniawian, ajaran dan amalan-amalannya menunjukan aktivitas yang berjangkauan
luas. Ia banyak memainkan peran dalam bidang politik di Banten, bahkan memimpin
perlawanan terhadap Belanda setelah sultan Ageng Tirtayasa tertangkap.
Konsep Utama Tasawuf Al-makassari
adalah pemurnian kepercayaan (aqidah) pada keesaan Tuhan. Ini merupakan
usahanya dalam menjelaskan transendensi Tuhan atas ciphtaan-Nya. Meskipun
berpegang teguh pada Transendensi Tuhan, al-Makassari percaya Tuhan itu
mencakup segalanya (al-ahathah) dan ada dimana-mana (al-maiyyah) atas
ciptaannya. Dengan konsep al-ahathah dan al-ma’iyyah, Tuhan turun (Tanazzul),
sementara manusia naik (Taraqqi), suatu proses spiritual yang membuat keduannya
semakin dekat. Tuhan tidak dapat diperbandingkan dengan apapun (laisa kamitslihi
syai’un).
Ciri yang menonjol dari teologi
al-Makassari mengenai keesaan Tuhan adalah usahannya untuk mendamaikan
sifat-sifat Tuhan yang tampaknya saling bertentangan. Selain itu, dalam
teologinya al-Makassari sangat patuh kepada doktrin Asy’ariyah.
Al-Makasari membagi kaum beriman ke
dalam empat kategori. Pertama, orang yang mengucapkan syahadat (pernyataan
iman) tanpa benar-benar beriman, dinamakan orang munafik (al-munafiq).
Kedua, orang yang mengucapkan syahadat dan menanamkannya dalam jiwa mereka,
disebut orang awam (al-Mu’min al-‘awwam). Ketiga, orang yang beriman dan
benar-benar memahami implikasi lahir dan batin dari pernyataan keislaman
mereka. Disebut kelompok elite (ahl al-khawashsh). Keempat adalah
kategori tertinggi orang beriman yang keluar dari golongan ketiga, dengan jalan
bertasawuf dengan tujuan menjadi lebih dekat dengan Tuhan, mereka ini yang
dinamakan “yang terpilih dari golongan
elite” (khashsh al-khawashsh). Dari keterangan al-Makassaari menunjukan
bahwa tasawuf hanya untuk golongan elite dan golongan orang-orang yang
terpilih.
Dari tulisan-tulisannya kita
mengenal al-Makassari sebagai seorang guru tarekat, tetapi tidak ada bukti ia
menyebarluaskan ajarannya di kalangan masyarakat Banten.[10]
Syekh Yusuf menulis lebih dari 20
tulisan terutama tentang tasawuf. Salah satunya yang dari Srilangka alias
Ceylon itu. Ditulis memenuhi keinginan para jamaah dan sahabat, risalah ini
memuat antara lain keharusan mempersatukan syariat dan hakikat. Misalnya
mengutip pendapat guru-guru tasawuf yang menyatakan, ''Siapa yang berilmu
tetapi tidak bertasawuf, ia fasik. Siapa yang bertasawuf namun tidak berfikih,
ia zindik.''[11]
Syekh yusuf al-makassary merupakan
orang pertama yang memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Hal ini
disebutkan di dalam bukunnya Safinah Al-Najah. Ia menerima ijazah dari
Syaikh Muhammad ’Abd Al-baqi di Yaman, kemudian mempelajari tarekat ketika
berada di Madinah di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Beliau bermukim
di Negara Arab, belajar dan mengarang sekitar seperempat abad. Jadi tidak aneh
apabila sebagian besar karangannya berbahasa Arab dengan gaya bahasa
sebagaimana lazimnya karangan orang-orang Arab.
Di Afrika Selatan, Syeikh Yusuf
al-Makassari tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat
pada tanggal 23 Mei 1699 M. para pengikut Syeikh Yusuf al-Makassari menjadikan
hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan Presiden
Afrika Selatan, menyebut Syeikh Yusuf al-Makassari yang juga salah seorang
pahlawan nasional Indonesia ini sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik.
Dari ungkapan-ungkapan Syaikh Yusuf
terkesan bahwa dia memang banyak berafiliasi kepada berbagai tarekat, tetapi
mengkhususkan satu risalah tentang tarekat Naqsyabandiyah merupakan indikasi
kecendrungannya kepada tarekat tersebut lebih besar ketimbang yang lain. Akan
tetapi, dia cukup kreatif dalam melaksanakan ajaran-ajaran tarekat lain ke
dalam tarekat yang diajarkan kepada muridnya.
Seperti kita perhatikan juga bahwa
dia cenderung pada mazhab wahdah-nya Ibn ‘Arabi dan berusaha mengukuhkan
mazhab ini dengan mengutip pertanyaan pemuka-pemuka sufi. Dalam hal ini, syaikh
Yusuf tidak banyak berbeda dengan Syaikh Hamzah Fansuri. Seperti juga kita
amati, bukanlah hal yang aneh menggabungkan dua tarekat dalam satu tarekat.[12]
[1] http://www.voa-islam.com/muslimah/mujahid/2011/11/03/16566/seri-pahlawan-syekh-yusuf-al-makassari-terbuang-hingga-afrika/
diakses 09-09-2012
[2] http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/sosok/1078-riwayat-hidup-syekh-yusuf-al-makassari-ulama-besar-dari-goa-.html,
diakses 09 September 2012
[3] Tudjimah, Syekh
Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya, (Jakarta: UI Press, 2005), Cet.
1, h. 4
[4] Wikipedia
bahasa Indonesia, Syaikh Tajul Khalwaty; seri pahlawan Nasional,
diakses 9 September 2012
[5] Tudjimah, Syekh
Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya, (Jakarta: UI Press, 2005), Cet.
1, h. 9
[6] Alwi Shihab,
Akar Tasawuf di Indonesia terj. Muhammad Nursamad, (Bandung: Mizan, 2009), cet.
I, h. 194
[7] Sri Mulyati,
Tasawuf Nusantara, (Jakarta : Prenata Media Group, 2006), cet. I, h. 128
[8]
Tudjimah,___________________________, h. 16
[9] Alwi Shihab,___________________h.
201
[10] Sri
Mulyati,dkk. Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia .( Jakarta: Prenada
Media, 2005). Cet I, h. 123-126
[11]
http://id.berita.yahoo.com/hujjatul-islam-syekh-yusuf-al-makassari-ulama-dan-082115331.html,
diakses 9 September 2012
[12] Alwi Shihab__________________,
h. 205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar