BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama diturunkan di Mekkah. Namun menurut pendapat
sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini diturunkan di Madinah. Menurut
pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali, sekali di Mekkah, sekali di
Madinah. Ia merupakan surat pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski
demikian, ia bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surah yang
pertama kali diturunkan adalah Surah al-Alaq.
Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena
secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali
Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.
Selain al-Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul
Kitab. Namun nama ini tidak disukai oleh Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin.
Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah sebutan untuk al-Lauh
al-Mahfuzh. Selain kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih
dari dua puluh nama, di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup). asy-Syafiyah
(yang menyembuhkan), dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang
diulang-ulang).
B.
Perumusan
Masalah
Makalah ini terdiri dari 4
sub bab materi :
1.
Ayat dan terjemahannya
2.
Mufradat
3.
Tafsir
4.
Komentar pemakalah
C.
Prosedur
Penyusunan Makalah
Semua data-data yang berhubungan langsung dengan pembahasan ini dikumpulkan dari
buku-buku dan sumber-sumber lain yang bisa dipercaya dan diserap sedemikian
rupa untuk dijadikan referensi dalam penyusunan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al-Qur’an
dan Terjemahannya
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
ÇÊÈ ßôJysø9$# ¬! Å_Uu
úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ Ç`»uH÷q§9$#
ÉOÏm§9$# ÇÌÈ
Å7Î=»tB ÏQöqt ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ
x$Î) ßç7÷ètR
y$Î)ur
ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ $tRÏ÷d$#
xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã
Îöxî
ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur
tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ
1.
Dengan menyebut nama Allah
yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
3.
Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
6.
Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
7.
(yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat[9].
B.
Mufradat
1.
ملك : Pemilik; Penguasaan terhadap
sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya.
2.
مغضوب : Berasal dari kata ( ) yang dalam berbagai bentuknya memiliki
keragaman makna, namun kesemuanya mengesankan sesuatu yang bersifat keras,
kokoh dan tegas.
3.
الدين يوم : Hari
Pembalasan
4.
إياك : Hanya Padamu
5.
صراط : Jalan
C.
Tafsir
(بسم الله) yakni: Aku memulai dengan segenap nama Allah Ta’ala,
karena lafaz (اسم) mufrad mudhaf (kata tunggal bersandar) maka mencakup
segenap nama-nama Allah (yang husna).
(الله)adalah al-ma’lu-al-ma'bud (yang diibadahi), yang
berhak ditunggalkan dalam peribadahan, karena sifat-sifat yang dimiliki
oleh-Nya dari sifat-sifat uluhiyah, dan ia merupakan sifat-sifat kesempurnaan.
(الرحمن الرحيم) dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala
memiliki rahmat yang luas dan besar yang mencakup segala sesuatu dan semua yang
hidup dan Dia tetapkan untuk orang-orang yang bertakwa yang mengikuti
nabi-nabi-Nya dan rasul-rasul-Nya. Mereka mendapatkan rahmat yang mutlak dan
selain mereka mendapatkan bagian dari rahmat-Nya. Dan ketahuilah bahwa diantara
kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh salaf (pendahulu) ummat ini dan
imam-imam mereka: beriman dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dan
beriman dengan hukum-hukum sifat. Mereka mengimani—misalnya—bahwa Allah rahman rahim (Maha Pengasih Maha
Penyayang) yang memiliki sifat rahmat (kasih sayang) yang Dia curahkan kepada
al marhum (yang Dia kasih-sayangi). Maka nikmat-nikmat seluruhnya merupakan
buah dari rahmat-Nya. Dan demikianlah pada seluruh sifat. Kita katakan pada Al
Alim (Yang Maha Mengetahui); bahwa Dia Maha Mengetahui, memiliki pengetahuan,
dengannya Dia mengetahui segala sesuatu. Qadir (Yang Maha Berkuasa), memiliki
kekuasaan, berkuasa atas segala sesuatu.[10]
مَالِكِ يَوْمِ الدِّين Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim,
al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya dengan 7Î=»tB, huruf mim dibaca panjang (mad). Sedangkan
para qari yang lain membacanya dengan 7Î=tB, huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca dengan dua
cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama menyatakan bahwa
kata al-Maalik atau al-Malik bermakna Yang Maha Kuasa untuk
menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Tidak ada yang mampu
melakukan hal itu kecuali Allah SWT.[11]
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat
tersebut berarti “yang memutuskan di hari perhitungan.” Menurut Qatadah,
kata ad-din (الدين) berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan
berlaku atas semua kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab
al-Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang
bermanfaat kecuali agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti
ketaatan. Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan[12].
Saat itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan
neraka.
Mengapa dikatakan Allah menguasai hari pembalasan?
Bukankah Allah juga menguasai semua hari? Hal itu karena pada hari pembalasan,
semua kekuasaan lenyap. Tak ada kekuasaan dan pemerintahan kecuali hanya
milik-Nya semata. Hal ini sesuai dengan ayat-Nya yang lain yang berbunyi:
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan yang Maha Pemurah
(QS. Al-Furqan; 26).[13]
Kepercayaan terhadap adanya hari kiamat, hari akhir,
atau hari pembalasan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam.
Sebagaimana kata Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an, kehidupan
masyarakat yang berpedoman dengan metode Allah yang tinggi tidak akan terwujud
selama kepercayaan terhadap hari kiamat tidak ada dalam diri mereka; selama
hati mereka belum betul-betul menyadari bahwa apa yang mereka dapatkan di dunia
bukanlah akhir dari apa yang akan mereka dapatkan.[14]
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada
Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah
satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan
selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah
untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-Nya.[15]
Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar
(asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi
kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang
notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang
menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa
diinjak-injak oleh kaki. Apalagi di dalam shalat, terutama shalat berjamaah,
ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan
kepada semua orang.[16]
Meski diperintahkan untuk hanya menyembah Allah
semata, manusia tetap diberi kebebasan untuk memilih, apakah sudi menyembah-Nya
atau tidak; beriman atau kafir kepada-Nya; taat atau membangkang kepada-Nya.
Padahal Allah bisa saja menciptakan semua makhluk-Nya jadi seperti malaikat
yang hanya menyembah-Nya dan tidak pernah membangkang pada-Nya. Namun, Allah
tetap memberikan kebebasan untuk memilih pada diri manusia agar manusia
betul-betul menyembah Allah karena pilihannya sendiri, bukan karena paksaan.
Menyembah Allah karena betul-betul menyadari sepenuhnya bahwa Allah memang
layak dan seharusnya untuk disembah. Jika kesadaran itu semakin besar dan
merasuk dalam hati manusia, ia pun menyembah Allah karena didasari rasa cinta
kepada-Nya.
Setelah menyebutkan “hanya kepada-Mu kami menyembah”,
Allah lantas menyebutkan “hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan”. Hal ini
menunjukkan pengertian bahwa “kami tidak menyembah kepada selain Diri-Mu, dan
kami tidak meminta pertolongan kecuali kepada Diri-Mu”. Permintaan tolong hanya
kepada Allah akan menghindarkan kita dari hinanya kehidupan dunia. Saat kita
meminta tolong kepada selain Allah, misalnya manusia, maka kita sebenarnya
meminta pertolongan kepada makhluk yang memiliki berbagai keterbatasan. Manusia
bisa saja memberikan pertolongan kepada orang lain sesuai kemampuan dan
kekuatannya. Manusia yang saat ini mampu dan kuat boleh jadi dalam sekejap bisa
menjadi orang yang sangat lemah dan tidak memiliki kemampuan apapun.
Allah bermaksud membebaskan orang-orang beriman dari
hinanya kehidupan dunia. Allah pun meminta mereka agar hanya meminta
pertolongan kepada Diri-Nya yang Maha Hidup dan tak pernah mati; Maha Kuat dan
tak pernah lemah; Maha Kuasa dan tak bisa dikuasai oleh apapun serta siapapun.
Jika kita betul-betul meminta pertolongan kepada Allah, Dia pun akan menyertai
kita. Dia akan memberikan kekuatan saat kita lemah. Dia akan memberi petunjuk
saat kita kebingungan memilih antara kebenaran dan kebatilan.
Ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk
pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita
untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah kepada-Nya,
barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah
selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa
yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu
terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.[17]
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا) berarti “berilah kami ilham.”
Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus” itu
adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia
berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas lagi,
kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham tentang
agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya; serta tiada sekutu bagi-Nya.
Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara membaca (qiraat).
Pertama, mayoritas qari, membacanya dengan dengan huruf shad,
sebagaimana yang tercantum dalam mushaf Utsmani. Kedua, sebagian lain
membacanya dengan huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط). Ketiga,
dibaca dengan huruf zay (ز), sehingga menjadi (الزِراَط).[18] Sedangkan menurut bahasa, seperti
dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak bengkok.
Kataاهْدِنَا berasal dari akar kata hidayah (هداية). Menurut
al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun
perbuatan– kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya
secara berurutan. Thahir Ibn Asyur membagi hidayah kepada empat tingkatan. Pertama, apa yang dinamainya al-quwa al-muharrikah wa al-mudrikah yakni
potensi penggerak dan tahu. Melalui potensi ini mengantar seseorang dapat
memelihara wujudnya.
Kedua,
adalah petunjuk yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara
yang haq dan batil, yang benar dan salah. Ini adalah hidayah pengetahuan
teoritis.
Ketiga,
hidayah yang tidak dapat dijangkau oleh analisa dan aneka argumentasi akliyah,
atau yang bila dusahakan akan sangat memberatkan manusia. Hidayah ini
dianugerahkan Allah Swt. Dengan mengutus para rasul-Nya serta menurunkan
kitab-kitab Nya dan inilah yang diisyaratkan oleh firman-Nya: “kami telah
menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah kami”.
Keempat, yang merupakan puncak hidayah Allah swt.
Adalah yang mengantar kepada tersingkapnya hakikat-hakikat yang tertinggi,
serta aneka rahasia yang membingungkan para pakar dan cendikiawan. Ini
diperoleh melalui wahyu atau ilham yang shahih, atau limpahan kecerahan
(tajalliyat) yang tercurah dari Allah swt.[19]
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلَا الضَّالِّينَ
Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat
sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang
dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” adalah jalan orang-orang
yang telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati
mereka dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu
adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin
Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang
dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi
Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq
dan Umar bin Khattab.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan
mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka
dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai
kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan
ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai
adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak
para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan
ayat-ayat Alquran sendiri.
D.
Komentar Pemakalah
Al-Fatihah
yang begitu singkat, memiliki artian yang sangat luas dan menggambarkan secara
umum isi-isi dalam Al-Qur’an. Dalam buku Tafsir Al-Mishbah karangan M. Quraish
Shihab, Al-Qur’an yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surat menguraikan 5
persoalan pokok diantaranya: 1) Tauhid; 2) janji dan Ancaman, 3) Ibadah, 4) penjelasan
tentang jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan cara mencapainya dan 5)
Pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.
Dalam tujuh
ayat tersebut, tergambar 5 pokok isi Al-Qur’an. Kelima pokok tersebut adalah
Tauhid yang terdapat pada ayat kedua dan kelima; janji dan ancaman pada ayat
pertama, ketiga dan ketujuh; Ibadah terdapat pada ayat kelima dan ketujuh;
sejarah masa lampau dan penjelasan tentang kebahagiaan di dunia dan di akhirat
tersirat pada ayat ketujuh.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Kariem
As-Sya’rawi,
Muhammad Mutawalli. Tafsir asy-Sya’rawi. juz 1
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Azhim. juz 1
Qutb,
Sayyid. Fi Zhilal al-Qur’an. juz 1
Shihab,
M. Quraish. 2007. Tafsir Al-Mishbah:
pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Thanthawi, Muhammad Sayyid. at-Tafsir al-Wasith. juz
1
[1]
Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah.
Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah,
seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat
yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak
membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha
Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan
karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi
pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2]
Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya
karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui
keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala
puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut
dipuji.
[3] Rabb
(tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara.
Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada
sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua
yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam
manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya.
Allah Pencipta semua alam-alam itu
[4]
Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula
dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[5]
Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia
menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut
juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
[6]
Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan
oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena
berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7]
Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan
bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan
dengan tenaga sendiri
[8]
Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan
yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja,
tetapi juga memberi taufik.
[9] Yang
dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan
yang menyimpang dari ajaran Islam.
[11] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud
al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa
at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 53.
[12] Ibid
[13] Ibid
[16] Ibid
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,
2007). Hal. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar