A.
Pengertian , Anggota, dan Bagian-Bagian Ashabul Furud.
Kata Furud merupakan jamak dari al fardl, dalam
memberikan definisi fardh ini, para ulama faraidh (walaupun dengan redaksi yang
berbeda-beda) pada hakikatnya memiliki persamaan persepsi dan maksud.
Hasanain
Muhammad Makhluf mengemukakan bahwa pengertian fardh adalah: “saham (bagian)
yang telah ditentukan oleh syara’ untuk para ahli waris dalam menerima harta
warisan.”
Sedangkan
Hasbi Ash-Shidieqy mengemukakan bahwa fardh “adalah bagian yang sudah
ditentukan jumlahnya untuk warits pada harta peninggalan, baik dengan nash,
ataupun dengan ijma’.”
Dari
beberapa pendapat para ahli diatas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan Dzawil furud atau Ashhabul Furudh adalah para ahli waris yang
mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh Syara’ (dalam Al-Qur’an) ,
yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang , kecuali dalam
masalah-masalah yang terjadi Rad atau ‘aul.
Bagian-Bagian
yang telah ditentukan bagi dzawil furud dalam Al-Quran hanya ada enam,
yakni 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Orang-Orang yang menerima (kami
sebut sebagai “Anggota”) bagian – bagian tersebut ialah:
1.
Suami
2.
Bapak
3.
Kakek dan seterusnya ke atas
4.
Saudara laki-laki seibu
5.
Isteri
6.
Anak perempuan
7.
Cucu perempuan dari anak laki-laki
dan seterusnya kebawah
8.
Ibu
9.
Nenek dari pihak bapak
10. Nenek
dari pihak ibu
11. Saudara
perempuan sekandung
12. Saudara
perempuan sebapak saja
13. Saudara
perempuan seibu saja.
Sebelum
menerangkan bagian penerimaan para ahli waris tersebut, ada baiknya dijelaskan
terlebih dahulu istilah-istilah yang digunakan dalam pembagian tersebut, seperti:
i)
Far’u al-Warits, yaitu anak turun
(cabang) dari pewaris. Mereka terdiri atas;
(1)
Anak Laki-laki
(2)
Anak perempuan
(3)
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
(4)
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
ii)
Walad al-Sulbi, yaitu anak inti
(keturunan langsung dari pewaris), mereka terdiri atas;
(1)
Anak Laki-Laki
(2)
Anak perempuan
iii)
Ashli Al-Dzakar, yaitu leluhur
(pokok) lelaki dari pewaris, mereka terdiri atas:
(1)
Bapak
(2)
Kakek[1]
Setelah kita
mengetahui ahli waris yang termasuk Ashabul Furud, berikut ini adalah besar
bagian yang di dapatkan oleh Dzawil (Ashabul) Furud dan penerimanya:
(1)
Yang mendapat 1/2 Harta :
(a)
Anak Perempuan apabila seorang diri
,tidak mempunyai saudara
Dalilnya ialah:
bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 .....
Artinya:
jika
anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta (Annisa, ayat
11)
(b)
Anak
perempuan dari anak laki-laki, apabila hanya seorang diri, tidak ada anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
(c)
Saudara
perempuan seayah, jika hanya seorang diri, dan tidak ada No. 1 dan 2.
Firman-Nya:
ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts? .....
jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya...(Annisa, ayat 176)
(d)
Suami
jika tidak ada anak, atau tidak ada cucu
laki-laki dari anak laki-laki.
Firman-Nya:
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur .....
Artinya:
Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. ..(Annisa, ayat 12)[2]
(e)
Saudara
perempuan sekandung, dengan ketentuan ia seorang diri (tidak ada saudara
perempuan sekandung lainnya)dan tidak mewarisi bersamasaudara laki-laki
sekandung lainnya, tidak mewarisi bersama bapak, dan far’ul waris (anak
laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak
laki-laki).[3]
(2)
Yang
mendapat 1/4
Adapun
kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya
hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
a) Seorang suami berhak mendapat bagian
seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila
sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya,
baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain
(sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"...
Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya " (an-Nisa': 12)
b) Seorang istri akan mendapat bagian seperempat
(1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami
tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari
rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
… Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6t öNä3©9 Ós9ur …..
"...
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
Ada satu hal
yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang bagian
istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi
seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata
lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka
tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan
firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk
jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang
istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan
(3)
Yang
mendapat 1/8
Yang
mendapatbagian 1/8 adalah istri (para istri ) dengan ketentuan bahwa ia atau
mereka mewaris bersama far’ul waris Atau dalam pendapat lain bila suami
mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari
rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para
istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh,
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..."
(an-Nisa': 12)
(4)
Penerima
Bagian 1/3
a)
Adapun ashhabul furudh yang berhak
mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik
laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga
dengan syarat:
- Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
- Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga firman-Nya:
"... jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)
b)
Kemudian saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga
dengan syarat sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
- Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.
Adapun dalilnya adalah firman Allah:
"... Jika seseorang mati
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..."
(an-Nisa': 12)[4]
(5)
Penerima
bagian 2/3
a.
Dua orang
anak perempuan atau lebih (tidak mewaris bersama anaklaki-laki)
b.
Dua
orang cucu peremuan atau lebih dari anak laki-laki (tidak mewaris bersama
anaklaki-laki dan perempan serta cucu laki-laki dari anak laki-laki)
c.
Dua
orang saudara perempuan sekandung atau lebih (tidak mewaris bersama saudara
laki-laki sekandung, bapak,dan far’ul waris)
d.
Dua
orang perempuan sebapak atau lebih (tidak mewaris bersama saudara laki-laki
sebapak, bapak, far’ul waris dan saudara laki-laki atau perempuan sekandung.)
(6)
Penerima
bagian 1/6
a.
Bapak,
jika mewaris dengan far’ul waris
b.
Ibu,
jika mewaris dengan far’ul waris, atau saudara (sgalajenis saudara)
c.
Kakek,
jika mewaris bersama far’ul waris, tetapi tidak mewaris bersama bapak atau
kakek yang lebih dekat dengan pewaris.
d.
Nenek
dari pihak bapak, jika ia tidak mewaris bersama bapak, ibu, atau nenek yang
lebih dekat dengan si pewaris.
e.
Nenekdari
pihak ibu, jika ia tidak mewaris bersama ibu, atau nenek dari pihak ibu yang
lebih dekat dengan si pewaris.
f.
Saudara
Perempuan sebapak (seorang atau lebih),jika ia mewaris bersama seorang saudara perempuan
sekandung yang mendapat bagian setengah, dan saudara laki-laki
sekandung serta tidak bersama laki-laki sebapak.
g.
Saudara
Laki-laki atauperempuan seibu, jika ia hanya seorang diri dan tidak mewarisi
bersama far’ul waris atau bersama ashlu dzakarin.
h.
Cucu
Perempuan dari anak laki-laki, jika ia atau mereka mewaris bersama anak
perempuan dengan degan bagian setengah.[5]
B.
Pengertian, Anggota, dan Bagian-Bagian ‘Ashobah.
Kata ‘ashabah merupakan jamak dari ashib yang verarti
kerabatseseorang dari bapaknya. Dalammemberi definisi ashabah atau ta’shib,
para ulama faraidh mempunyai kesamaan persepsi dan maksud.Rifai Arief
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
“bagian
yang tidak ditentukan dengan kadar tertentu (khusus), seperti mengambil seluruh
harta atau mengambil sisa setelah pembagian ash-habul Furud.”
Sayid Sabiq membagi ‘ashabah atas
dua bagian, yakni ‘ashabah nasabiah dan ‘ashabah sababiah.
Ashabah Nasabiyah didasarkan atas adanya ikatan kekrabatan, sedangkan ashabah
sababiyah berdasarkan atas adanya pembebasan hamba sahaya/ budak.
Rifai Arief membagi Ashabah Nasabiyah
menjadi tiga bagian:
1.
‘Ashabah
Bil Nafsi
Ialah
seluruh ahli waris laki-laki, selain suami dan saudara laki-laki seibu atau
lebih rincinyasebagai berikut:
a.
Anak
laki-laki
b.
Cucu
Laki-laki dari anak laki-laki
c.
Bapak
d.
Kakek
e.
Saudara
laki-laki sekandung
f.
Saudara
laki-laki sebapak
g.
Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung
h.
Anak
laki-laki saudara laki-laki sebapak
i.
Paman
sekandung
j.
Paman
sebapak
k.
Anak
laki-laki paman sekandung
l.
Anak
laki-laki paman sebapak.
Prioritas pembagiannya mempertimbangkan hal –hal dibawah ini:
a-
Menilik
Jihatnya
b-
Menilik
derajatnya
c-
Menilik
kekuatan kekrabatan.
Ahli waris ashabah bi nafsi, dalam
keadaan tertentu dapat menerima seluruh harta peninggalan, menerima sisa harta
peninggalan, atau tidak menerima sama sekali harta peninggalan tersebut.
2.
‘Ashabah Bil Ghair
“adalah
seorang atau sekelompok anak perempuan bersama sekelompok atau seorang anak
laki-laki , dan seorang atau sekelompok saudara perempuan dengan sekelompok
atau seorang saudara laki-laki, manakala kelompok laki-laki tersebut menjadi
ahli waris ‘ashabah bi al-nafsi”[6]
'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat
orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
- Anak perempuan, akan menjadi
'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak
laki-laki).
- Cucu perempuan keturunan anak
laki-laki akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara
laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan
anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
- Saudara kandung perempuan akan
menjadi 'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
- Saudara perempuan seayah akan
menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan
pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud
kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
Pertama:
haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh, Kedua: laki-laki yang menjadi
'ashabah (penguat) harus yang sederajat, dan Ketiga: laki-laki yang menjadi
penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Adapun
sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita
itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi
karena adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung
laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi
nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya
secara fardh.[7]
3.
‘Ashabah ma’al Gahir
“Adalah seorang atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung
maupun sebapak yang mewarisi bersama-sama dengan seorang atau sekelompok anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, manakala tidak ada anak
laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki, atau bapak, serta tidak ada saudara
yang laki-laki yang menjadikannya sebagai ahli waris ‘ashabah bil Ghair.”
Ahli waris ashabah ma’al ghair mendapat sisa harta
peninggalan setelah pembagian ashabul furud. Jadi manakala harta
peninggalan setelah pembagian ashabul furud dan ahli waris lainnya tidak
bersisa, mka ahli waris ‘ashabah ma’al ghair tidak mendapat bagian.
Dari pembahasan diatas tampaklah bahwa
saudara perempuan sekandung atau sebapak memiliki tiga keadaan, yaitu sebagai
penerima warisan secara fardh manakala tidak bersama-sama dengan saudara
laki-lakinya; sebagai ‘ashabah bil ghair manakala bersama saudara
laki-lakinya ; dan sebagai ashabah maal ghair manakala bersama-sama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki.
[1]
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S. H, Fiqih Mawaris Hukum kewarisan Islam,(Jakarta:Gaya
Media Pratama,2002),cet II, H. 67.
[2]
Drs. H. M. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: CV Toha
Putra,1978), h. 520-521
[3]
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S. H.__________________h. 68
[4] http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Waris/Umariyyatan.html.
[5]
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S. H.__________________h.70-72
[6]
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S. H.__________________h.77
[7] http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Waris/Umariyyatan.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar