BAB I
PENDAHULUAN
Dalam tradisi
keilmuan Islam, istilah “tarekat” sama sekali tidak dapat dipisahkan dari apa
yang disebut sebagai tasawuf. Tentu saja tidak demikian sebaliknya, karena
tasawuf bisa saja terpisah tanpa ada hubungan langsung dengan tarekat.
Secara
kelembagaan tarekat baru terbentuk sebagai organisasi dalam dunia tasawuf pada
abad ke 8 H. Artinya, tarekat bisa dianggap sebagai hal baru yang belum
dijumpai pada periode awal Islam, termasuk pada masa Rasulullah SAW. Tidak
heran kemudian jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu
dinisbatkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup
berabad-abad dari Nabi SAW.[1]
Salah satu
tarekat yang cukup besar adalah tarekat Syatariyah. Tarekat ini dinisbatkan
kepada ‘Abd Allah al-Shattari yang wafat pada tahun 890/1485. Tarekat ini meski
dinisbatkan kepada syaikh ‘Abd Allah al-Shattari namun diyakini bersambung
silsilahnya hingga ke Nabi saw, sehingga tarekat ini termasuk tarekat yang muktabarah.
Salah satu
doktrin yang menjadi sorotan dalam tarekat Syatariyah adalah mengenai paham Wahdat
al-wujud. Paham ini banyak menuai pro dan kontra dikalangan ulama, biak
fiqih, hadits maupun ulama-ulama lain. Penyebabnya, doktrin ini dianggap
sebagai doktrin yang bertentangan dengan paham ahlussunnah.
Dalam makalah
yang singkat ini, penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai paham wahdat
al-wujud yang diajarkan tarekat Syatariyah yang berada di Jawa dan Sumatra
Barat.
BAB
II
PEMBAHASAN
TAREKAT SYATARIYAH DAN WAHDATUL WUJUD
A.
SEJARAH SINGKAT TAREKAT SYATARIYAH
Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syhaththari yang wafat pada
tahun 890/1485 M, seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan
dengan Syihab al-Din Abu Hafsh ‘Umar Suhrawardi (539-632 H), ulama safu yang
mempopulerkan tarekat Suhrawardiyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh
pamannya sendiri, Diya al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (490-563 H).
Syaikh ‘Abd Allah tinggal di Mandu, sebuah desa di India bagian
tengah, dimana ia mendirikan khanaah pertama bagi para penganut tarekat
Syatariyah. Ia diketahui menulis sebuah kitab berjudul Lata’if al-Ghaibiyah,
tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syatariyah, yang disebutnya
sebagai cara cepat untuk mencapai tingkat makrifat. Karyanya ini kemudian
disempurnakan oleh dua murid utamanya, syaikh Muhammad ‘Ala dan syaikh hafiz
Jawnpur.
Di haramayn tarekat Syatariyah disebarkan oleh Ahmad Syinawi dan
Ahmad Qusyasyi (keduanya murid sayyid Sibgat Allah). Setelah Ahmad wafat maka
penyebaran tarekat ini dipegang sepenuhnya oleh al-Qusyasyi. Di bawah kebesaran
al-Qusyasyi, tarekat Syattariyah semakin memantapkan pengaruhnya di Haramayn.[2]
Jalur Tarekat Syatariyah ke Indonesia melalui Ibrahim al-Kurani
(1023-1102 H) dan Syaikh Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105 H). di antara
murid-murid Abdurrauf yang paling terkemuka diantaranya ialah Syaikh Burhanudin
dari ulakan, pariaman, Sumatra Barat dan Syaikh Abd al-Muhyi dari Pamijahan,
Tasikmalaya, jawa Barat. Kedua murid Abdurrauf ini berhasil melanjutkan dan mengembangkan
silsilah tarekat Syatariyah, dan menjadi tokoh sentral di daerahnya
masing-masing. Syaikh Burhanuddin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah
tarekat Syattariyah di wilayah Sumatra Barat periode berikutnya. Sementara
Syaikh Abd al-Muhyi menjadi salah satu mata rantai utama bagi terhubungkannya
silsilah tarekat Syattariyah di wilayah jawa barat khususnya dan jawa pada
umumnya.[3]
B.
AJARAN TAREKAT SYATTARIYAH (versi jawa)
1.
TUHAN
Tuhan menurut Tarekat Satariyah
adalah satu tidak ada sekutu bagiNya. Dzat Wajibul Wujud yakni Dzat yang
hakekatnya nyata wujudnya, jelas ujudNya. Bahkan sebenarnya Dia yang ada dan
maujud, Esa. Allah Allah asmaNya, namun gaib. Dalam halaman lain disebutkan
bahwa Allah adalah dzat yang ghaib dan yang sebenarnya hanyalah Dia yang ada
dan wujud. Satu yang disenangi dan juga hanya Dia yang Maha satu yang dituju di
dalam hidupnya. Allah adalah Tuhan yang tidak lain adalah Hu, yakni Dzat yang
sebenarnya wujud.
Dalam tarekat Satariyah ada Dzikir
yang Hua dibaca Hu. Hu ini diucapkan dengan sirri yakni dengan mulut dikatupkan
dan mata dipejamkan. Hu ini adalah isim ghaib yaitu wujudnya Tuhan. Dasarnya
ialah surat al-Ikhlas ayat 1 yang berbunyi : Qul Huallahu Ahad. Yang
artinya : katakanlah bahwa sesungguhnya Dia adalah Allah yang Maha satu.
Allah tidak mempunyai sifat tetapi
mempunyai asma. Asma Allah berjumlah 99 seperti yang tertera dalam al-Qur’an.
Selain itu ada lagi asma Allah yang ghaib (isim Ghaib) yaitu Hua.
Tuhan dapat dilihat di alam Dunia
ini, cara melihat Tuhan ini ialah dengan membaca dzikir yang diajarkan Tarekat
Syatariyah, alat untuk melihat Tuhan adalah rasa (sir). Jadi ilmu-ilmu Syathoriyah adalah ilmu-ilmu
yang membahas ma’rifat kepada Allah swt karena kata “syathor” artinya ialah
pintu. Pintu untuk ma’rifat kepada Allah atau ilmu untuk melihat Allah. Tempat
atau alat untuk melihat Tuhan adalah mata hati atau rasa. Rasa sendiri adalah
sebagai intinya manusia. Manusia sulit sekali untuk mencapai tingkatan dapat
ma’rifat (melihat Tuhan). Manusia yang dapat ma’rifat dengan Tuhan hanyalah
hamba pilihan.
Adapun hubungan Tuhan dengan alam,
bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Semua gerak gerik alam adalah di bawah
pengawasan Tuhan dan digerakkan oleh Tuhan. Khusus hubungan Tuhan dengan
manusia, bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan diberi nur Muhammad yang
dimasukan langsung ke dalam tubuh manusia. Nur Muhammad berasal dari Tuhan dan
nanti bila manusia mati, ia akan kembali kepada Tuhan.
2.
DUNIA
Dunia diciptakan karena adanya Nur
Muhammad. Dunia ini diciptakan dari tidak ada menjadi ada tidak dengan bahan
apapun. Langit, Bumi, matahari, dan bintang diciptakan secara bersama-sama.
Dunia ini dikendalikan oleh para
malaikat atas perintah Tuhan. Tuhan memerintahkan kepada para malaikat untuk
mengendalikan dunia inin sesuai dengan tugas-tugasnya. Khusus untuk manusia,
semua perbuatannya yang mengendalikan adalah Tuhan sendiri.
Manusia hidup di dunia ini tidak
dilarang memiliki harta benda yang banyak. Mereka diperbolehkan memiliki rumah
yang bagus, mobil, perhiasan atau kekayaan lainnya. Pemilikan harta benda
tersebut harus digunakan untuk kepentingan Allah atau agama. Disamping itu
pemilikan harta benda tersebut harus pula dilandasi dengan lillahi ta’ala
artinya harta benda yang dimiliki hakikatnya milik Allah. Jadi seumpama hilang
atau rusak harus berserah diri atau tawakkal kepada Allah.
Bumi dan planet-planet yang lain
akhirnya akan hancur semua. Kehancuran itu tidak diketahui waktunya. Kehancuran
ini terjadi karena umurnya sudah habis. Dalil dari kehancuran ini ialah surat
Ar-Rahman ayat 26-27.[4]
3.
MANUSIA
Manusia yang diciptakan pertama kali oleh Allah swt ialah Adam,
terbuat dari tanah yang dibawa dari empat penjuru, tanah yang dibawa dari timur
berwarna putih, tanah yang dibawa dari selatan berwarna merah, tanah yang dari
barat berwarna kuning dan tanah yang dari utara berwarna hitam. Tanah ini
diambil oleh malaikat dicampur dan dibentuk wujud manusia. Setelah dibentuk
ujud manusia lalu di beri air, api dan angin, lalu hiduplah Adam. Penciptaan
manusia dari tanah, air, angin dan api menjadikan manusia terpengaruh
kehidupannya oleh bahan-bahan tersebut. Oleh karena itu manusia dibekali Allah
swt dengan tujuh macam nafsu, diantara nafsu-nafsu tersebut, nafsu yang paling
kuatlah yang akan banyak mempengaruhi kehidupan dunia. Tujuh macam nafsu
tersebut ialah:
a)
Nafsu
Amarah
b)
Nafsu
Lawamah
c)
Nafsu
Mulhimah
d)
Nafsu
Mutmainah
e)
Nafsu
Rodhiyah
f)
Nafsu
Mardhiyah
g)
Nafsu
Kamilah
Ruh manusia terbuat dari angin. Dengan begitu ruh manusia adalah
nafas manusia yang keluar masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila seorang manusia
di dalam hidupnya selalu taat kepada Allah, ia akan diberi keistimewaan oleh
Allah swt. Bisa berupa mu’jizat yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul,
karomah kepada para wali, dan maunah diberikan kepada manusia biasa. Karomah atau
maunah dapat diperoleh dengan usaha, yaitu dengan cara senang mengosongkan
perut dan senang terjaga di waktu malam hari.
Perbuatan manusia di dunia ini baik maupun buruk semua berasal dari
Tuhan. Namun demikian Tuhan tidak akan memperlakukan perbuatan-perbuatan
manusia kecuali dari kehendak manusia itu. Perbuatan baik akan dibantu
malaikat, sedangkan perbuatan jelek atau buruk akan dibantu oleh jin.[5]
4.
AJARAN
DZIKIR
Dzikir adalah alat untuk membuka
beberap hati. dikatakan beberapa sebab hati manusia itu bersap-sap. Dari hati
nurani, didalamnya ada roh. Roh juga berlapis-lapis. Kemudian di dalam Roh, ada
lagi rasa.[6]
Dzikir yang diajarkan pada tharikat
Syatariyah di Jawa Tengah ada tujuh macam: Dzikir Thowaf, Itsbat, Itsbat faqod,
Ismu Zat, Tanzul (Ghoibun fi Syahadah) dan Dzikir Isim Ghoib (Dzikir Ghoibin fi
Ghoib).
Rumusan mengenai hakikat Dzikir
Syatariyah di Sumatra Barat, cenderung agak berbeda dengan ajaran al-Qushashi
maupun Abdurrauf sebelumnya. Jika naskah-naskah Syatariyah karangan al-Qushashi
dan Abdurrauf masih mewacanakan konsep fana’. Yakni peniadaan diri atau
hilangnya batas-batas individu seseorang dan menjadi satu dengan Allah, bahkan fana’
an al-fana’ atau fana’ an fana’ih, yakni fana’ dari fana’ itu
sendiri, sebagai hakikat atau tujuan akhir dari dzikir.
Maka naskah-naskah Syatariyah di Sumatera Barat menegaskan bahwa hakikat Zikir
adalah “sekedar” untuk membersihkan jiwa agar memperoleh kedekatan dengan
Tuhan, serta untuk membuka rasa agar memperoleh keyakinan dan kesaksian akan
hakikat dan wujudNya.[7]
C.
TAREKAT SYATARIYAH DI JAWA DAN MINANG, PANDANGANNYA MENGENAI
WAHDATUL WUJUD
1.
Sekilas Mengenai Paham Wahdatul Wujud
Doktrin wahdat al-wujud merupakan
konsepsi tentang Tuhan, hubungan Nya dengan alam, yang sering dinisbatkan
kepada Ibn ‘Arabi (560-638 H), seorang sufi asal Andalusia. Para sarjana
sepakat bahwa dalam berbagai karangannya, termasuk dalam dua karya utamannya, Fusus
al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi tidak pernah
menggunakan istilah wahdat al-wujud ataupun wujudiyah. Akan
tetapi, berbagai karangannya tersebut memang menggambarkan dengan sesungguhnya
apa yang dimaksud dengan wahdat al-wujud.
Dalam fusus al-hikam misalnya,
Ibn Arabi menegaska:
“ semua (wujud) adalah milik Allah, dan (tercipta)
dengan-Nya, bahkan semua (wujud) itu adalah Allah sendiri. Atau dalam
ungkapannya yang lain “maha suci zat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia
adalah Zat segala sesuatu itu.”[8]
2.
Pandangan Tarekat Syatariyah di Jawa dan Minang mengenai Paham
Wahdatul wujud
Tarekat Syattariyah dikenal sebagai
tarekat yang kental dengan doktrin Wahdat al-Wujud. Syaikh Abd. Rauf bin
Ali fansuri ini berhasil mengkombinasikan ajaran Syariat Mazhab Syafii dengan
ajaran tasawuf orde tarekat syatariyah di Sumatera Barat. Tersebarnya tarekat
Syattariyah mulai Aceh kemudian melewati Sumatera Barat, menyusur hingga ke
Sumatera Selatan, dan berkembang pula hingga ke Cirebon Jawa Barat. Kalau kita
kaji secara seksama, ternyata masih ada pertalian dan persambungan silsilah
dengan Syaikh Abd. Rauf bin Ali fansuri tersebut.[9]
Diantara fenomena unik yang muncul
di kalangan penganut Tarekat Syatariyah di Sumatra Barat adalah penolakan
mereka terhadap doktrin Wahdat al-Wujud. Disebut unik karena tokoh-tokoh
penting tarekat ini, baik yang berada di Haramayn, terutama al-Qusyasyi dan
al-Kurani, maupun ulama Melayu-Indonesia sendiri di wilayah lainnya seperti
Abdurrauf bin Ali al-Jawi dan Syaikh Abd al-Muhyi Pamijahan, dalam karya-karya atau
naskah yang dinisbatkan kepadanya tidak menunjukan penolakan terhadap doktrin
tersebut, melainkan melakukan representasi dengan mengemukakan penjelasan yang
relative dapat diterima oeh ulama fikih sekalipun.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di dalam makalah ini, paling tidak ada beberapa
poin penting yang bisa kita ambil:
1.
Ajaran
tarekat Syatariyah di Sumatra Barat cenderung melunakan ajaran wahdatul
wujud. Kecendrungan melunak ini bahkan lebih jelas lagi dalam hal rumusan
ajaran tasawuf filosofisnya. Seperti tampak dalam naskah-naskah karangannya,
al-kurani dan juga Abdurrauf nisalnya, masih mengajarkan doktrin Wahdat
al-wujud meskipun rumusannya sudah lebih disesuaikan dengan dalil-dalil
ortodoks Islam, sehingga doktrin Wahdat al-wujud ini lebih dapat
diterima oleh banyak kalangan. Bahkan doktrin ini terkesan dilucuti, sehingga
ajaran tarekat Syatariyah di Sumatra Barat, terutama yang berkembang pada abad
ke-19 menjadi lebih khas tanpa mengajarkan doktrin Wahdat al-wujud.
2.
Berbeda
dengan di Sumatra Barat, ajaran tarekat Syatariyah di Jawa dan Sunda masih
mengajarkan ajaran Wahdat al-wujud dengan lebih kental. Seperti terekam
dalam naskah-naskah tarekat Syatariyah yang berasal dari Kuningan, Cirebon, dan
Giriloyo, ajaran tarekat Syatariyah yang berkembang melalui Syaikh Abdul Muhyi
pamijahan. Di wilayah ini masih mengemukakan doktrin Wahdat al-wujud sebagai
bagian dari pembahasannya.
3.
Kekhasan
Tarekat Suatariyah di masing-masing daerah dalam mengajarkan doktrin Wahdat
al-wujud banyak dipengaruhi karakter masyarakat setempat, budaya dan tokoh
yang membawa tarekat ini ke daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman, Tarekat Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta:
Pranada Media, 2008), cet. I
Mulyati, Sri, et.al , Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat
Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. II
Sholihin,
Muhammad, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), cet.I
Sodli, Ahmad, Studi Kasus Tarekat Syatariyah di Desa Kendal,
Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi Jawa Timur, (Semarang: Depag, 1994), Cet.
I
[1] Fathurrahman, Tarekat
Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I, h. 25
[2] Sri Mulyati,
et.al , Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2005), cet. II, h. 160
[3] Fathurrahman, Tarekat
Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I, h. 35
[4] Ahmad Sodli, Studi
Kasus Tarekat Syatariyah di Desa Kendal, Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi Jawa
Timur, (Semarang: Depag, 1994), Cet. I, h. 33
[5] Ahmad Sodli, Studi
Kasus Tarekat Syatariyah di Desa Kendal, Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi Jawa
Timur, (Semarang: Depag, 1994), Cet. I, h. 36
[7] Fathurrahman, Tarekat
Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I, h. 15
[9] M. Sholihin, Melacak
Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),
cet. I, H. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar