Informasi yang kamu cari

Rabu, 17 Desember 2014

Zakat Profesi Sebagai Pembersih Diri dan Anak Istri


Pada umumnya, orang akan langsung mafhum ketika mendengar kata nafkah, bahwa nafkah adalah pemberian suami kepada istri baik berupa materi (uang, sandang, papan, dsb.) ataupun bukan materi (perhatian, kasih sayang, dsb.) yang diberikan dengan ikhlas dan merupakan kewajiban suami terhadap istri. Namun sesungguhnya makna nafkah dapat lebih luas dari pengertian tersebut. Dalam buku Sulaiman Rasjid (Fiqh Islam: 2009) disebutkan bahwa memberi nafkah adalah kewajiban bagi seorang suami kepada istrinya, seorang ayah dan atau ibu kepada anaknya yang masih kecil atau apabila anaknya miskin dan tak mampu berusaha, anak kepada orang tuanya apabila orang tuanya itu miskin, seorang kakek atau nenek kepada cucunya apabila tidak memiliki ayah, seorang peternak kepada hewan ternaknya, dan seorang petani kepada tanaman yang ia rawat.
Mencari nafkah juga menjadi suatu kewajiban sebagaimana wajibnya memberi nafkah. Pada umumnya, orang akan mencari nafkah dengan menjadi pegawai (karyawan, guru, PNS, dsb.), berwirausaha ataupun berdagang, baik barang maupun jasa. Dalam pencarian nafkah, setiap orang sudah punya rezekinya masing-masing, dari jalan mana akan ia dapatkan, berapa besarnya, dan kapan waktu memperolehnya. Oleh karena itu, ada orang yang kemudian berkecukupan dalam memberi nafkah, ada pula yang sampai melebihi kebutuhan dan ada pula yang tidak mencukupi kebutuhan hidup diri dan yang dinafkahinya. Salah satu hal yang harus kita perhatikan dalam urusan nafkah tentunya bukan hanya jumlah yang mampu kita berikan tapi juga apakah nafkah yang kita peroleh kemudian sudah memiliki keberkahan di dalamnya?
Paling tidak, Islam dibangun atas lima dasar yang kemudian dikenal dengan rukun Islam. Salah satu rukun Islam yang wajib kita tunaikan adalah zakat. Secara garis besar zakat dapat dibagi menjadi zakat fitrah dan zakat maal (harta). Dalam surat Attaubah : 103, Allah SWT berfirman:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ  
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Dalam pembahasan ini, kita akan memfokuskan pembahasan pada salah satu jenis zakat maal, yaitu zakat profesi atau yang dalam buku Husein Syahatah (Cara Praktis Menghitung Zakat:2005) disebut sebagai zakat penghasilan. Yang dimaksud zakat profesi ialah kadar tertentu yang  harus dikeluarkan oleh seseorang dari penghasilan atau gaji yang ia peroleh setelah sampai Nishab nya. Menurut Husein Syahatah, profesi yang dijalani haruslah profesi yang halal dan sesuai syariat. Dalam Nishab zakat profesi sendiri, para ulama berbeda pendapat dalam perhitungannya. Ada ulama yang menyamakannya dengan nisab zakat emas dan perak, ada pula yang menyamakannya dengan nisab zakat pertanian.
Apabila didasarkan pada nisab emas, maka seseorang akan dikenakan zakat profesi apabila penghasilannya perbulan mencapai 85 gram emas. Misalkan saja harga emas 24 karat per gram adalah Rp. 500.000,- maka seseorang akan dikenakan zakat profesi apabila gajinya perbulan mencapai Rp. 500.000,- x 85= 42.500.000. Zakat yang  harus ditunaikan adalah 2,5% dari gajinya. Sedangkan dalam nisab pertanian yang wajib dizakati adalah apabila telah mencapai 5 wasaq atau setara dengan 653 kg makanan pokok. Apabila kita konversikan ke beras. Rata-rata harga beras saat ini ialah delapan ribu rupiah. Maka 653 kg x 8.000= Rp. 5. 224. 000,-. Meskipun di dasarkan atas nisab pertanian namun pengambilan besaran zakatnya tetaplah 2,5% dari gaji yang diperoleh. Zakat ini dibayarkan setiap bulan atau setiap memperoleh gaji.
Selain dalam nisabnya, para ulama juga berikhtilaf dalam menentukan apakah ketika menghitung zakat profesi ini, gaji dipotong kebutuhan hidup dan piutang terlebih dahulu ataukah tidak. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa alangkah lebih bijak dan lebih baik apabila kita mengeluarkan zakat dari keseluruhan harta yang kita peroleh. Kalaulah kita mengeluarkan zakat setelah dipotong kebutuhan hidup dan piutang, maka jumlah zakat yang kita keluarkan tentunya akan semakin kecil. Maka apabila kita mengeluarkan zakat lebih besar dari yang seharusnya kita bayarkan, maka kelebihan dari zakat itupun akan menjadi shodaqah. Begitupun dengan nisab yang kita pakai, apabila kita menggunakan nisab emas, maka tidak terlalu banyak orang yang mencapai nisab zakat profesi dalam keadaan bangsa kita seperti sekarang ini. Maka penulis lebih cenderung menggunakan nishab pertanian.

Zakat sebagai pembersih diri dan harta kita, tentunya akan lebih menenangkan apabila dapat kita tunaikan. Apalagi apabila harta yang kita zakati tersebut adalah nafkah untuk keluarga dan anak-anak kita, tentunya kita ingin agar nafkah tersebut adalah nafkah yang bersih dan berkah. Nafkah yang ketika dikonsumsi akan menjadi energi-energi kebaikan dan mendorong kepada akhlakul karimah. Semakin baik (sehat, suci dan proporsional) apa yang kita makan, maka akan semakin baik pula lahir dan batin kita. Seperti arti zakat itu sendiri, semoga dengan kita membayar zakat dari gaji kita, maka harta kita akan semakin tumbuh dan akhlak keluarga kita akan semakin suci. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar