Informasi yang kamu cari

Senin, 20 April 2015

AJARAN TAREKAT SATTARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam tradisi keilmuan Islam, istilah “tarekat” sama sekali tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai tasawuf. Tentu saja tidak demikian sebaliknya, karena tasawuf bisa saja terpisah tanpa ada hubungan langsung dengan tarekat.
Secara kelembagaan tarekat baru terbentuk sebagai organisasi dalam dunia tasawuf pada abad ke 8 H. Artinya, tarekat bisa dianggap sebagai hal baru yang belum dijumpai pada periode awal Islam, termasuk pada masa Rasulullah SAW. Tidak heran kemudian jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbatkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad dari Nabi SAW.[1]
Salah satu tarekat yang cukup besar adalah tarekat Syatariyah. Tarekat ini dinisbatkan kepada ‘Abd Allah al-Shattari yang wafat pada tahun 890/1485. Tarekat ini meski dinisbatkan kepada syaikh ‘Abd Allah al-Shattari namun diyakini bersambung silsilahnya hingga ke Nabi saw, sehingga tarekat ini termasuk tarekat yang muktabarah.
Salah satu doktrin yang menjadi sorotan dalam tarekat Syatariyah adalah mengenai paham Wahdat al-wujud. Paham ini banyak menuai pro dan kontra dikalangan ulama, biak fiqih, hadits maupun ulama-ulama lain. Penyebabnya, doktrin ini dianggap sebagai doktrin yang bertentangan dengan paham ahlussunnah.
Dalam makalah yang singkat ini, penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai paham wahdat al-wujud yang diajarkan tarekat Syatariyah yang berada di Jawa dan Sumatra Barat.





BAB II
PEMBAHASAN
TAREKAT SYATARIYAH DAN WAHDATUL WUJUD
A.    SEJARAH SINGKAT TAREKAT SYATARIYAH
Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Syaikh  ‘Abd Allah al-Syhaththari yang wafat pada tahun 890/1485 M, seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh ‘Umar Suhrawardi (539-632 H), ulama safu yang mempopulerkan tarekat Suhrawardiyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri, Diya al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (490-563 H).
Syaikh ‘Abd Allah tinggal di Mandu, sebuah desa di India bagian tengah, dimana ia mendirikan khanaah pertama bagi para penganut tarekat Syatariyah. Ia diketahui menulis sebuah kitab berjudul Lata’if al-Ghaibiyah, tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syatariyah, yang disebutnya sebagai cara cepat untuk mencapai tingkat makrifat. Karyanya ini kemudian disempurnakan oleh dua murid utamanya, syaikh Muhammad ‘Ala dan syaikh hafiz Jawnpur.
Di haramayn tarekat Syatariyah disebarkan oleh Ahmad Syinawi dan Ahmad Qusyasyi (keduanya murid sayyid Sibgat Allah). Setelah Ahmad wafat maka penyebaran tarekat ini dipegang sepenuhnya oleh al-Qusyasyi. Di bawah kebesaran al-Qusyasyi, tarekat Syattariyah semakin memantapkan pengaruhnya di Haramayn.[2]
Jalur Tarekat Syatariyah ke Indonesia melalui Ibrahim al-Kurani (1023-1102 H) dan Syaikh Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105 H). di antara murid-murid Abdurrauf yang paling terkemuka diantaranya ialah Syaikh Burhanudin dari ulakan, pariaman, Sumatra Barat dan Syaikh Abd al-Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, jawa Barat. Kedua murid Abdurrauf ini berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah tarekat Syatariyah, dan menjadi tokoh sentral di daerahnya masing-masing. Syaikh Burhanuddin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah tarekat Syattariyah di wilayah Sumatra Barat periode berikutnya. Sementara Syaikh Abd al-Muhyi menjadi salah satu mata rantai utama bagi terhubungkannya silsilah tarekat Syattariyah di wilayah jawa barat khususnya dan jawa pada umumnya.[3]

B.     AJARAN TAREKAT SYATTARIYAH (versi jawa)
1.      TUHAN
Tuhan menurut Tarekat Satariyah adalah satu tidak ada sekutu bagiNya. Dzat Wajibul Wujud yakni Dzat yang hakekatnya nyata wujudnya, jelas ujudNya. Bahkan sebenarnya Dia yang ada dan maujud, Esa. Allah Allah asmaNya, namun gaib. Dalam halaman lain disebutkan bahwa Allah adalah dzat yang ghaib dan yang sebenarnya hanyalah Dia yang ada dan wujud. Satu yang disenangi dan juga hanya Dia yang Maha satu yang dituju di dalam hidupnya. Allah adalah Tuhan yang tidak lain adalah Hu, yakni Dzat yang sebenarnya wujud.
Dalam tarekat Satariyah ada Dzikir yang Hua dibaca Hu. Hu ini diucapkan dengan sirri yakni dengan mulut dikatupkan dan mata dipejamkan. Hu ini adalah isim ghaib yaitu wujudnya Tuhan. Dasarnya ialah surat al-Ikhlas ayat 1 yang berbunyi : Qul Huallahu Ahad. Yang artinya : katakanlah bahwa sesungguhnya Dia adalah Allah yang Maha satu.
Allah tidak mempunyai sifat tetapi mempunyai asma. Asma Allah berjumlah 99 seperti yang tertera dalam al-Qur’an. Selain itu ada lagi asma Allah yang ghaib (isim Ghaib) yaitu Hua.
Tuhan dapat dilihat di alam Dunia ini, cara melihat Tuhan ini ialah dengan membaca dzikir yang diajarkan Tarekat Syatariyah, alat untuk melihat Tuhan adalah rasa (sir).  Jadi ilmu-ilmu Syathoriyah adalah ilmu-ilmu yang membahas ma’rifat kepada Allah swt karena kata “syathor” artinya ialah pintu. Pintu untuk ma’rifat kepada Allah atau ilmu untuk melihat Allah. Tempat atau alat untuk melihat Tuhan adalah mata hati atau rasa. Rasa sendiri adalah sebagai intinya manusia. Manusia sulit sekali untuk mencapai tingkatan dapat ma’rifat (melihat Tuhan). Manusia yang dapat ma’rifat dengan Tuhan hanyalah hamba pilihan.
Adapun hubungan Tuhan dengan alam, bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Semua gerak gerik alam adalah di bawah pengawasan Tuhan dan digerakkan oleh Tuhan. Khusus hubungan Tuhan dengan manusia, bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan diberi nur Muhammad yang dimasukan langsung ke dalam tubuh manusia. Nur Muhammad berasal dari Tuhan dan nanti bila manusia mati, ia akan kembali kepada Tuhan.

2.      DUNIA
Dunia diciptakan karena adanya Nur Muhammad. Dunia ini diciptakan dari tidak ada menjadi ada tidak dengan bahan apapun. Langit, Bumi, matahari, dan bintang diciptakan secara bersama-sama.
Dunia ini dikendalikan oleh para malaikat atas perintah Tuhan. Tuhan memerintahkan kepada para malaikat untuk mengendalikan dunia inin sesuai dengan tugas-tugasnya. Khusus untuk manusia, semua perbuatannya yang mengendalikan adalah Tuhan sendiri.
Manusia hidup di dunia ini tidak dilarang memiliki harta benda yang banyak. Mereka diperbolehkan memiliki rumah yang bagus, mobil, perhiasan atau kekayaan lainnya. Pemilikan harta benda tersebut harus digunakan untuk kepentingan Allah atau agama. Disamping itu pemilikan harta benda tersebut harus pula dilandasi dengan lillahi ta’ala artinya harta benda yang dimiliki hakikatnya milik Allah. Jadi seumpama hilang atau rusak harus berserah diri atau tawakkal kepada Allah.
Bumi dan planet-planet yang lain akhirnya akan hancur semua. Kehancuran itu tidak diketahui waktunya. Kehancuran ini terjadi karena umurnya sudah habis. Dalil dari kehancuran ini ialah surat Ar-Rahman ayat 26-27.[4]

3.      MANUSIA
Manusia yang diciptakan pertama kali oleh Allah swt ialah Adam, terbuat dari tanah yang dibawa dari empat penjuru, tanah yang dibawa dari timur berwarna putih, tanah yang dibawa dari selatan berwarna merah, tanah yang dari barat berwarna kuning dan tanah yang dari utara berwarna hitam. Tanah ini diambil oleh malaikat dicampur dan dibentuk wujud manusia. Setelah dibentuk ujud manusia lalu di beri air, api dan angin, lalu hiduplah Adam. Penciptaan manusia dari tanah, air, angin dan api menjadikan manusia terpengaruh kehidupannya oleh bahan-bahan tersebut. Oleh karena itu manusia dibekali Allah swt dengan tujuh macam nafsu, diantara nafsu-nafsu tersebut, nafsu yang paling kuatlah yang akan banyak mempengaruhi kehidupan dunia. Tujuh macam nafsu tersebut ialah:
a)      Nafsu Amarah
b)      Nafsu Lawamah
c)      Nafsu Mulhimah
d)     Nafsu Mutmainah
e)      Nafsu Rodhiyah
f)       Nafsu Mardhiyah
g)      Nafsu Kamilah
Ruh manusia terbuat dari angin. Dengan begitu ruh manusia adalah nafas manusia yang keluar masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila seorang manusia di dalam hidupnya selalu taat kepada Allah, ia akan diberi keistimewaan oleh Allah swt. Bisa berupa mu’jizat yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul, karomah kepada para wali, dan maunah diberikan kepada manusia biasa. Karomah atau maunah dapat diperoleh dengan usaha, yaitu dengan cara senang mengosongkan perut dan senang terjaga di waktu malam hari.
Perbuatan manusia di dunia ini baik maupun buruk semua berasal dari Tuhan. Namun demikian Tuhan tidak akan memperlakukan perbuatan-perbuatan manusia kecuali dari kehendak manusia itu. Perbuatan baik akan dibantu malaikat, sedangkan perbuatan jelek atau buruk akan dibantu oleh jin.[5]
4.      AJARAN DZIKIR
Dzikir adalah alat untuk membuka beberap hati. dikatakan beberapa sebab hati manusia itu bersap-sap. Dari hati nurani, didalamnya ada roh. Roh juga berlapis-lapis. Kemudian di dalam Roh, ada lagi rasa.[6]
Dzikir yang diajarkan pada tharikat Syatariyah di Jawa Tengah ada tujuh macam: Dzikir Thowaf, Itsbat, Itsbat faqod, Ismu Zat, Tanzul (Ghoibun fi Syahadah) dan Dzikir Isim Ghoib (Dzikir Ghoibin fi Ghoib).
Rumusan mengenai hakikat Dzikir Syatariyah di Sumatra Barat, cenderung agak berbeda dengan ajaran al-Qushashi maupun Abdurrauf sebelumnya. Jika naskah-naskah Syatariyah karangan al-Qushashi dan Abdurrauf masih mewacanakan konsep fana’. Yakni peniadaan diri atau hilangnya batas-batas individu seseorang dan menjadi satu dengan Allah, bahkan fana’ an al-fana’ atau fana’ an fana’ih, yakni fana’ dari fana’ itu sendiri, sebagai hakikat atau tujuan akhir dari dzikir. Maka naskah-naskah Syatariyah di Sumatera Barat menegaskan bahwa hakikat Zikir adalah “sekedar” untuk membersihkan jiwa agar memperoleh kedekatan dengan Tuhan, serta untuk membuka rasa agar memperoleh keyakinan dan kesaksian akan hakikat dan wujudNya.[7]

C.    TAREKAT SYATARIYAH DI JAWA DAN MINANG, PANDANGANNYA MENGENAI WAHDATUL WUJUD
1.      Sekilas Mengenai Paham Wahdatul Wujud
Doktrin wahdat al-wujud merupakan konsepsi tentang Tuhan, hubungan Nya dengan alam, yang sering dinisbatkan kepada Ibn ‘Arabi (560-638 H), seorang sufi asal Andalusia. Para sarjana sepakat bahwa dalam berbagai karangannya, termasuk dalam dua karya utamannya, Fusus al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi tidak pernah menggunakan istilah wahdat al-wujud ataupun wujudiyah. Akan tetapi, berbagai karangannya tersebut memang menggambarkan dengan sesungguhnya apa yang dimaksud dengan wahdat al-wujud.
Dalam fusus al-hikam misalnya, Ibn Arabi menegaska:
“ semua (wujud) adalah milik Allah, dan (tercipta) dengan-Nya, bahkan semua (wujud) itu adalah Allah sendiri. Atau dalam ungkapannya yang lain “maha suci zat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah Zat segala sesuatu itu.”[8]

2.      Pandangan Tarekat Syatariyah di Jawa dan Minang mengenai Paham Wahdatul wujud
Tarekat Syattariyah dikenal sebagai tarekat yang kental dengan doktrin Wahdat al-Wujud. Syaikh Abd. Rauf bin Ali fansuri ini berhasil mengkombinasikan ajaran Syariat Mazhab Syafii dengan ajaran tasawuf orde tarekat syatariyah di Sumatera Barat. Tersebarnya tarekat Syattariyah mulai Aceh kemudian melewati Sumatera Barat, menyusur hingga ke Sumatera Selatan, dan berkembang pula hingga ke Cirebon Jawa Barat. Kalau kita kaji secara seksama, ternyata masih ada pertalian dan persambungan silsilah dengan Syaikh Abd. Rauf bin Ali fansuri tersebut.[9]
Diantara fenomena unik yang muncul di kalangan penganut Tarekat Syatariyah di Sumatra Barat adalah penolakan mereka terhadap doktrin Wahdat al-Wujud. Disebut unik karena tokoh-tokoh penting tarekat ini, baik yang berada di Haramayn, terutama al-Qusyasyi dan al-Kurani, maupun ulama Melayu-Indonesia sendiri di wilayah lainnya seperti Abdurrauf bin Ali al-Jawi dan Syaikh Abd al-Muhyi Pamijahan, dalam karya-karya atau naskah yang dinisbatkan kepadanya tidak menunjukan penolakan terhadap doktrin tersebut, melainkan melakukan representasi dengan mengemukakan penjelasan yang relative dapat diterima oeh ulama fikih sekalipun.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di dalam makalah ini, paling tidak ada beberapa poin penting yang bisa kita ambil:
1.      Ajaran tarekat Syatariyah di Sumatra Barat cenderung melunakan ajaran wahdatul wujud. Kecendrungan melunak ini bahkan lebih jelas lagi dalam hal rumusan ajaran tasawuf filosofisnya. Seperti tampak dalam naskah-naskah karangannya, al-kurani dan juga Abdurrauf nisalnya, masih mengajarkan doktrin Wahdat al-wujud meskipun rumusannya sudah lebih disesuaikan dengan dalil-dalil ortodoks Islam, sehingga doktrin Wahdat al-wujud ini lebih dapat diterima oleh banyak kalangan. Bahkan doktrin ini terkesan dilucuti, sehingga ajaran tarekat Syatariyah di Sumatra Barat, terutama yang berkembang pada abad ke-19 menjadi lebih khas tanpa mengajarkan doktrin Wahdat al-wujud.
2.      Berbeda dengan di Sumatra Barat, ajaran tarekat Syatariyah di Jawa dan Sunda masih mengajarkan ajaran Wahdat al-wujud dengan lebih kental. Seperti terekam dalam naskah-naskah tarekat Syatariyah yang berasal dari Kuningan, Cirebon, dan Giriloyo, ajaran tarekat Syatariyah yang berkembang melalui Syaikh Abdul Muhyi pamijahan. Di wilayah ini masih mengemukakan doktrin Wahdat al-wujud sebagai bagian dari pembahasannya.
3.      Kekhasan Tarekat Suatariyah di masing-masing daerah dalam mengajarkan doktrin Wahdat al-wujud banyak dipengaruhi karakter masyarakat setempat, budaya dan tokoh yang membawa tarekat ini ke daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman, Tarekat Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I
Mulyati, Sri, et.al , Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. II
Sholihin, Muhammad, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), cet.I
Sodli, Ahmad, Studi Kasus Tarekat Syatariyah di Desa Kendal, Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi Jawa Timur, (Semarang: Depag, 1994), Cet. I



[1] Fathurrahman, Tarekat Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I, h. 25
[2] Sri Mulyati, et.al , Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. II, h. 160
[3] Fathurrahman, Tarekat Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I, h. 35
[4] Ahmad Sodli, Studi Kasus Tarekat Syatariyah di Desa Kendal, Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi Jawa Timur, (Semarang: Depag, 1994), Cet. I, h. 33
[5] Ahmad Sodli, Studi Kasus Tarekat Syatariyah di Desa Kendal, Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi Jawa Timur, (Semarang: Depag, 1994), Cet. I, h. 36
[6] Ibid, h. 39
[7] Fathurrahman, Tarekat Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I, h. 15
[8] Ibid, h. 122
[9] M. Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), cet. I, H. 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar