Informasi yang kamu cari

Senin, 20 April 2015

Karl Raimund Popper

Ketika Ia Hidup

Karl Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya Dr. Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia filsafat, karena ayahnya telah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf ternama.
Pada usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan Ia bosan dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disama.
Setelah perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan “segala cara” dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada saat itu terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu kebijaksanaan yang diungkapkan oleh Socrates yaitu “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.
Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual Popper dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teaori Newton dengan munculnya Teori tentang gaya berat dan kosmologi baru yang gikemukakan oleh Einstein. Dimana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.
Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang crucial berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.
Tokoh lain yang cukup berpengaruh pada Popper yang berkaitan dengan perkembangan pemikiran filsafatnya adalah Karl Buhler, seorang profesor psikologi di Universitas Wina. Buhler memperkenalkan pada Popper tentang 3 tingkatan fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif, fungsi stimulatif, dan fungsi deskriptif. Dua fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia dan binatang sedangkan fungsi ketiga khas pada bahasa manusia dan bahkan tidak selalu hadir. Dan pada perkembangannya Popper menambahkan fungsi keempat yaitu fungsi argumentatif, yang dianggapnya terpenting karena merupakan basis pemikiran kritis.
Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik – kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.
Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.
Karya-karyanya
1. Logik der Forschung tahun 1934
2. The Open Society and Its Enemies I, II; The Poverty of Historicism tahun 1957
3. The Logic of Scientific Discovery tahun 1959
4. Conjectures and Refutations: the Growth of Scientific Knowledge tahun 1963
5. Objective Knowledge, an Evolutionary Approach tahun 1972
6. The Philosophy of Karl Popper tahun 1974
Kritiknya terhadap Positivisme Logis
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
Pemikirannya : Asas Falsifiabilitas
Menurut Popper teori yang melatar belakangi fakta-fakta pengamatan adalah titik permulaan ilmu pengetahuan dan teori diciptakan manusia sebagai jawaban atas masalah pengetahuan tertentu berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain hanyalah pendugaan dan pengiraan dan tidak pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian yang secermat-cermatnya agar diketahuan ketidakbenarannya.
Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi.
Keterbukaan untuk diuji atau falsifiabilitas sebagai tolok ukur mempunyai implikasi bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang dan selalu dapat diperbaiki, dan pengetahuan yang tidak terbuka untuk diuji tidak ada harapan untuk berkembang, dan sifatnya biasanya dogmatis serta tidak dapat digolongkan sebagai pengetahuan ilmiah.
Adapun bagan mengenai metode falsifiabilitas yang dikemukankan oleh Popper dapat ditunjukkan sebagai berikut :
Tahap 1: P1 – TT – EE – P2
Tahap 2: P2 – TT1 – EE1 – P3
Tahap … dst…..
Keterangan :
P1 : Permasalahan/ Problem Awal
TT : Tentative Theory
EE : Error Elimination
P2 : Problem baru
TT1 : Tentative theory ke dua
EE1 : Error Elimination ke dua
P3 : Problem baru

Dari bagan ini terlihat bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang mengikuti alur diatas dan penjelasan ini akan lebih jelas lagi dengan menyimak penjelasn yang berikut.
Proses Pengembangan Pengetahuan Ilmiah
Popper menekankan bahwa pengalaman merupakan unsur yang paling menentukan dan pengalaman tidak mengenai sesuatu yang berdiri sendiri yang dapat dipakai sebagai tolok ukur atau batu uji mutlak buat pembuktian atau embenaran suatu teori atay pernyataan, melainkan mengenai cara menguji, atau metode penelitian itu sendiri. Jadi Popper mengatakan bahwa pengalaman saman dengan pengujian dan pengujian sama dengan metode penelitian.
Popper juga mengungkapkan adanya tahap-tahap pengembangan pengetahuan ilmiah, yaitu tahap 1, Penemuan masalah, ilmu pengetahuan mulai dari satu masalah yang bermula dari suatu penyimpangan, dan penyimpangan ini mengakibatkan orang terpaksa mempertanyakan keabsahan perkiraan itu dan ini merupakan masalah pengetahuan. Tahap 2, Pembuatan Teori, langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu Teori sebagai jawabannya yang merupakan hasil daya cipta pikiran manusia dan sifatnya percobaan atau terkaan. Teori sifatnya lebih abstrak dari masalah. Tahap 3, Perumusan ramalan atau hipotesis, Teori selanjutnya digunakan untuk menurunkan ramalan atau hipotesis spesifik secara deduktif dan ini ditujukan kepada kenyataan empiris tertentu. Tahap 4, Pengujuan ramalan atau hipotesis, selanjutnya hipotesis diuji melalui pengamatan dan eksperimen tujuannya adalah mengumpulkan keterangan empiris dan menunjukkan ketidakbenarannya. Tahap 5, Penilaian hasil, tujuan menilai benar tidaknya suatu teori oleh Popper dinamakan pernyataan dasar yang menggambarkan hasil pengujian. Pernyataan dasar ini memainkan peranan khusus yaitu pernyataan yang bertentangan dengan teori, dan ini semacam petunjuk ketidakbenaran potensial dari teori yang ada. Dalam tahap ke 5 ini terdapat dua kemungkinan, pertama, teori ini diterima sehingga tidak berhasil ditunjukkan ketidakbenarannya dan untuk sementara teori ini dapat dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah sampai pada suatus aat dapat dirobohkan dengan menyusun suatu pengujian yang lebih cermat. Kemungkinan kedua, adalah teori ini ditolak sehingga terbukti bahwa ketidakbenarannya dan konsekuensinya muncul masalah baru dan harus segera dibentuk teori baru untuk mengatasinya. Tahap 6, Pembuatan Teori Baru, dengan ditolaknya teori lama maka muncullah masalah baru yang membutuhkan teori baru untuk mengatsinya dan sifat dari teori ini tetap abstrak dan merupakan perkiraan atau dugaan sehingga merupakan suatu percobaan yang harus tetap diuji.
Dari penjelasan diatas bahwa untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah tentunya manusia tidka akan lepas dari kegiatan percobaan, kesalahan, terkaan dan penolakan yang silih berganti dan menurut Popper teori adalah unsur tetap dalam evolusi manusia dan teori pula adalah unsur rasio dan bagian dari pembawaan manusia.
Menurut Popper filsafat ilmu pengetahuan tidak lain merupakan suatu pengujian untuk memberikan alasan atau argumentasi untuk memilih teori satu dan membuang teori yang lain dan bukan mengenai pembenaran suatu teori. Dan apa yang dapat dibuat tidak lain hanya mengadakan pilihan rasional dalam keputusan tentang suatu pernyataan. Filsafat ilmu pengetahuan hanya dapat berbicara tentang pengetahuan dalam arti kata produksi, sedangkan masalah bagaimana pengetahuan itu dihasilkan atau ditemukan tidak bisa menjadi pokok pembicaraan oleh karena meliputi “intuisi kreatif” yang tidak terbuka untuk ditelaah.
Apa yang dimaksud oleh Popper Rasionalisme Kritis adalah memberikan kebebasan pada manusia untuk berfikir penuh kepada manusia. Pikiran manusia merupakan percobaan atau terkaan belaka. Untuk memperbaiki nasibnya manusia dituntut mengembangkan pengetahuan ilmiah dengan cara mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang tersimpan dalam pikirannya sendiri. Teori disatu pihak hanyalah alat untuk mencapai pikiran yang lain dan lebih tepat. Teori pada hakekatnya merupakan jalan menuju fakta-fakta baru. Tugas Ilmuwan menurut Popper adalah membebaskan manusia dari terkaan dan ia dituntut untuk berkarya dan menciptakan fakta barusehingga dengan cara ini manusia dapat dibebaskan dari cengkraman kesalahan.
Kritik terhadap Popper
Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Kunt ia melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu dilihat dari masa lalu dan jika demikian maka apa yang diungkapkan oleh Popper tidak sesuai. Kunt mengungkapkan bahwa perkembang ilmu pengetahuan itu melalui 2 tahapan, yaitu tahap normal dan tahap revolusi.
Tahap normal ditandai dengan kesepahaman dikalangan ilmuwan tentang permasalahan yang pantas diteliti maupun syarat0syarat yang harus dipenuhi supaya hasil penelitian dapat diterima. Dengan adanya kesepakatan ini maka metode yang digunakannya pun berdasarkan kesepakatan. Karena ada kesepakatan diantara ilmuwan maka setiap fakta baru yang muncul akan segera diketahui keberadaannya. Namun ketika f\suatu fakta baru muncul dan dianggap menyimpang karena tidak dapat diteliti dengan menggunakan paradigman yang dianut, maka tidaks egera mengganti paradigma yang lama dengan yang baru seperti apa yang dikatakan oleh Popper tetapi semua ilmuwan itu mencoba berdialog dan membicarakan hal ini guna menetapkan paradigman baru yang akan dipakai, dan jika pada perbincangan itu tidak bisa dijelaskan tentang fakta yang baru ini maka barulah keabsahan yang menyimpang mulai diakui dan timbul akan paradigma baru. Dan ini merupakan permulaan dari tahap revolusi.
Ciri khas dari tahap revolusi adalah tiadanya satu paradigma yang berperan sebagai titik orientasi yang tetap dan juga jatuhnya syarat-syarat yang dianggap harus dipenuhi untuk suatu penelitian, atau menurut Kunt dinamakan Anomali. Dengan demikian maka penjelasan untuk pengertian paradigma dan perkembangan ilmu pengetahuan yang menyertainya harus bersifat sosiologis.
Kritik kedua dilontarkan oleh Winch, ia mengatakan bahwa asumsi dasar Popper tentang tujuan ilmu pengetahuan tidaklah benar karena tujuan ilmu pengetahuan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan berkesatuan (Einheitswissenschaft), dan menurut Winch antara ilmu alam dan ilmu sosial terdapat perbedaan yang mendasar sehingga kenyataan yang ingin dideskripsikan dan dijelaskan oleh ilmu sosial menunjukkan sifat lain dari ilmu alam sehingga tidak dapat dijelaskan dengan hukum-hukum abstrak dan universal. Ilmu sosial umumnya bertugas memberikan interpretasi, yakni harus menerangkan “pengertian” konsep yang berkaitan dengan kelakuan manusia dan metode yang paling cocok untuk itu harus bersifat interpretatif dan berdasarkan apa yang lazim dinamakan “verstehen”. Asas filsafat ilmu pengetahuan yang mendasari ilmu alam tidak dapat dianggap berlaku untuk ilmu-ilmu sosial.


Daftar Pustaka
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989
Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996

Sumber: http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/karl-raimund-popper/,di akses 2 november 2011

Contoh Proposal Skripsi

PROPOSAL SKRIPSI
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di LP Anak Kelas II A Kota Tangerang dan Pengaruhnya terhadap Akhlak Narapidana Anak



 Logo Universitas





Disusun Oleh:
Ahmad Mustomi Inal Qirom 109011000099

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012

Syekh Yusuf Al-Makasari

Syekh Yusuf Al-Makassari
GURU TAREKAT, PEJUANG DAN PENGEMBARA ILMU SEJATI
Oleh    : Ahmad Mustomi Inal Qirom (109011000099)
1.      Biografi Singkat Syech Yusuf Tajul Khalwati
Adalah Syekh Yusuf, putera asli Makassar, lahir di Kerajaan Gowa pada tahun 1626 M. Dari asal usulnya, beliau merupakan keturunan bangsawan di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa dan Bone.[1]
Dalam sumber lain disebutkan bahwa Syeikh Yusuf lahir tahun 1626 di Goa, Sulawesi Selatan. Ayahnya, Abdullah, bukan bangsawan, tetapi ibunya, Aminah, keluarga Sultan Ala al-Din. Dia dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid. Pada usia 15 tahun dia belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana. Saya tahu dari sejarawan Belanda, Van Leur, betapa agama Islam dibawa ke Indonesia pada mulanya oleh pedagang-pedagang Islam yang sekaligus adalah sufi. Kembali dari Cikoang Syeikh Yusuf menikah dengan seorang putri Sultan Goa, lalu pada usia 18 tahun dia naik haji ke Mekkah sekalian memperdalam studi tentang Islam.[2]
Menurut Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo dikeluarkan oleh Ligvoet, Syekh Yusuf Makasar dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia yang lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf. Nama lengkapnya setelah dewasa adalah Tuanta' Salama' ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni.[3]
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah.
Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.[4]
Selain ulama, syekh Yusuf juga merupakan pejuang yang militant, hingga ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan diasingkan ke beberapa daerah. Sampai 1694 ia dibuang ke Selon. Kemudian ia dipindahkan ke Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dengan 49 pengikutnya. Sampai akhirnya beliau meninggal tahun 1699 di Tanjung Harapan/Capetown, Afrika Selatan.[5]
Seperti telah diceritakan di atas, bahwa Syekh sangat rajin menuntut ilmu dari mulai Yaman, Mekkah hingga Madinah pernah ia datangi, bahkan menetap hingga waktu yang lama di tempat-tempat tersebut. Dalam perjalanannya ke Yaman, dia berhenti beberapa waktu di Aceh, salah satu pusat ilmu agama kala itu. Di sana dia memperdalam ilmu tasawuf dan memperoleh ijazah dari seorang syaikh tarekat Qadiriyah pada masa al-Raniri. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya ke Haramain dan bermukim beberapa beberapa tahun mendalami ilmu-ilmu tasawuf dan tarekat sampai mendapat ijazah sufi dari seorang tarekat Syattariyah. Kemudian dia hijrah ke Damaskus dan berhunbungan dengan Syaikh-Syaikh tarekat dan mempelajari tarekat Khalwatiyah. Barangkali kepakarannya dalam tarekat tersebut membuatnya dijuluki Syaikh Taj Al-Khalwaty Al-Makassari.
Syaikh Yusuf kembali ke Indonesia tahun 1672 M. tetapi situasi politik di negerinya, Makasar, menuyebabkan dia mengurungkan niat dan memilih menetap di Banten, hingga menikah dengan puteri sultan Banten dan menjadi seorang Syaikh yang bersuara lantang dan berpengaruh. Dengan ketinggian ilmunya dia bisa menghimpun ribuan murid di sekitarnya. Ketika terjadi perselisihan antara kesultanan dan Belanda, dia menjadi pemimpin perang bersama murid-muridnya dan angkatan perang sultan. Akan tetapi, Syaikh pun menjadi tawanan dan diasingkan ke Srilanka pada tahun 1099 H dalam usia 57 tahun. Syaikh menetap di Ceylon (Srilanka) beberapa tahun dan menghabiskan waktu dengan belajar dan mengarang. Disana dia mengenal ulama seperti Syaikh Ibrahim Minhan yang meminta Syaikh menyususn kitab tasawuf yang menjelaskan hubungan antara murid dan syaikh.
Ketika terjadi bentrokan di jawa, Belanda menuduh Syaikh sebagai penyebabnya dan kemudian dia diasingkan lagi untuk kedua kalinya ke Afrika Selatan hingga wafat di pengasingan.[6]
Menurut sejarah Gowa, al-Makassari dilahirkan 1037/1627 di Tallo wilayah kerajaan Gowa dan meninggal di Tanjung Harapan Afrika Selatan pada 22 Zulkaidah 1111 H/22 Mei 1699 M, dikuburkan di Faure di perbukitan pasir False Bay tidak jauh dari tanah pertanian Zandvliet. Pusaranya dikenal sebagai Karamat tempat beribu-ribu peziarah yang menghormati tokoh yang mulia ini. pada tahun 1699 keturunan dan pengikutnya kembali ke Nusantara. Pada 1705 kerangka jenazah al-Makasari tiba di Gowa, lalu dimakamkan di Lakiung. Pusara al-Makassari kedua inipun menjadi tempat ziarah di Sulawesi Selatan.[7]

2.      Pemikiran Syaikh Yusuf Al-Makassary : Perpaduan Bermacam Tarekat
Sebagai seorang penganut tarekat Syekh Yusuf Makasar adalah sufi yang luar biasa, karena begitu banyak tarekat yang telah beliau pelajari, diantaranya ialah Khalwatiyah, Nakshabandiyah, Shatariyah, Dasukiyah, Shadiliyah, Jistiyah, Rifaiyah, Aidurisyah, Ahmadiyah, Suhrawardiyah, Kabrutiyah, Maduriyah, Mahdumiyah, Madyaniyah, Kawabiyah, dan syekh-syekh kepercayaan bangsa Arab.[8]
Diantara pemikiran Syaikh terdapat dalam risalah kecil, antara lain al-Barakah al-Sailaniyyah, Bidayah Al-Mubtadi’, Qurrah Al-‘Ain, Sirr al-Asraar, Daf al-Bala’, Ghayah al-Ikhtisar wa Nihayah al-Intizhar, dll.
Berikut beberapa petikan paragraf ungkapannya:
“ Apabila seseorang mengatakan kepada kamu, ‘Bagaimana kamu memungkiri wujud alam, sedangkan kamu melihat dengan mata kepalamu sendiri adanya itu, tanpa sedikitpun keraguan?” jawaban orang-orang ‘arif adalah, “wujud hakiki ialah wujud yang berdiri sendiri, sedangkan wujud yang kita jalani bukan wujud hakiki, melainkan wujud bayangan saja.” Kemudian syaikh melanjutkan uraian tentang konsep al-a’yan al-tsabitah, yang seluruhnyab mengacu pada Ibn ‘Arabi.[9]
Al-Makassari adalah seorang ulama yang luar biasa, terutama adalah seorang sufi, juga seorang mujadid dalam sejarah Islam Nusantara. Tasawufnya tidak menjauhkan dari masalah-masalah keduniawian, ajaran dan amalan-amalannya menunjukan aktivitas yang berjangkauan luas. Ia banyak memainkan peran dalam bidang politik di Banten, bahkan memimpin perlawanan terhadap Belanda setelah sultan Ageng Tirtayasa tertangkap.
Konsep Utama Tasawuf Al-makassari adalah pemurnian kepercayaan (aqidah) pada keesaan Tuhan. Ini merupakan usahanya dalam menjelaskan transendensi Tuhan atas ciphtaan-Nya. Meskipun berpegang teguh pada Transendensi Tuhan, al-Makassari percaya Tuhan itu mencakup segalanya (al-ahathah) dan ada dimana-mana (al-maiyyah) atas ciptaannya. Dengan konsep al-ahathah dan al-ma’iyyah, Tuhan turun (Tanazzul), sementara manusia naik (Taraqqi), suatu proses spiritual yang membuat keduannya semakin dekat. Tuhan tidak dapat diperbandingkan dengan apapun (laisa kamitslihi syai’un).
Ciri yang menonjol dari teologi al-Makassari mengenai keesaan Tuhan adalah usahannya untuk mendamaikan sifat-sifat Tuhan yang tampaknya saling bertentangan. Selain itu, dalam teologinya al-Makassari sangat patuh kepada doktrin Asy’ariyah.
Al-Makasari membagi kaum beriman ke dalam empat kategori. Pertama, orang yang mengucapkan syahadat (pernyataan iman) tanpa benar-benar beriman, dinamakan orang munafik (al-munafiq). Kedua, orang yang mengucapkan syahadat dan menanamkannya dalam jiwa mereka, disebut orang awam (al-Mu’min al-‘awwam). Ketiga, orang yang beriman dan benar-benar memahami implikasi lahir dan batin dari pernyataan keislaman mereka. Disebut kelompok elite (ahl al-khawashsh). Keempat adalah kategori tertinggi orang beriman yang keluar dari golongan ketiga, dengan jalan bertasawuf dengan tujuan menjadi lebih dekat dengan Tuhan, mereka ini yang dinamakan “yang terpilih  dari golongan elite” (khashsh al-khawashsh). Dari keterangan al-Makassaari menunjukan bahwa tasawuf hanya untuk golongan elite dan golongan orang-orang yang terpilih.
Dari tulisan-tulisannya kita mengenal al-Makassari sebagai seorang guru tarekat, tetapi tidak ada bukti ia menyebarluaskan ajarannya di kalangan masyarakat Banten.[10]
Syekh Yusuf menulis lebih dari 20 tulisan terutama tentang tasawuf. Salah satunya yang dari Srilangka alias Ceylon itu. Ditulis memenuhi keinginan para jamaah dan sahabat, risalah ini memuat antara lain keharusan mempersatukan syariat dan hakikat. Misalnya mengutip pendapat guru-guru tasawuf yang menyatakan, ''Siapa yang berilmu tetapi tidak bertasawuf, ia fasik. Siapa yang bertasawuf namun tidak berfikih, ia zindik.''[11]
Syekh yusuf al-makassary merupakan orang pertama yang memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Hal ini disebutkan di dalam bukunnya Safinah Al-Najah. Ia menerima ijazah dari Syaikh Muhammad ’Abd Al-baqi di Yaman, kemudian mempelajari tarekat ketika berada di Madinah di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Beliau bermukim di Negara Arab, belajar dan mengarang sekitar seperempat abad. Jadi tidak aneh apabila sebagian besar karangannya berbahasa Arab dengan gaya bahasa sebagaimana lazimnya karangan orang-orang Arab.
Di Afrika Selatan, Syeikh Yusuf al-Makassari tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699 M. para pengikut Syeikh Yusuf al-Makassari menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, menyebut Syeikh Yusuf al-Makassari yang juga salah seorang pahlawan nasional Indonesia ini sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik.
Dari ungkapan-ungkapan Syaikh Yusuf terkesan bahwa dia memang banyak berafiliasi kepada berbagai tarekat, tetapi mengkhususkan satu risalah tentang tarekat Naqsyabandiyah merupakan indikasi kecendrungannya kepada tarekat tersebut lebih besar ketimbang yang lain. Akan tetapi, dia cukup kreatif dalam melaksanakan ajaran-ajaran tarekat lain ke dalam tarekat yang diajarkan kepada muridnya.
Seperti kita perhatikan juga bahwa dia cenderung pada mazhab wahdah-nya Ibn ‘Arabi dan berusaha mengukuhkan mazhab ini dengan mengutip pertanyaan pemuka-pemuka sufi. Dalam hal ini, syaikh Yusuf tidak banyak berbeda dengan Syaikh Hamzah Fansuri. Seperti juga kita amati, bukanlah hal yang aneh menggabungkan dua tarekat dalam satu tarekat.[12]




[1] http://www.voa-islam.com/muslimah/mujahid/2011/11/03/16566/seri-pahlawan-syekh-yusuf-al-makassari-terbuang-hingga-afrika/ diakses 09-09-2012
[2] http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/sosok/1078-riwayat-hidup-syekh-yusuf-al-makassari-ulama-besar-dari-goa-.html, diakses 09 September 2012
[3] Tudjimah, Syekh Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya, (Jakarta: UI Press, 2005), Cet. 1, h. 4
[4] Wikipedia bahasa Indonesia, Syaikh Tajul Khalwaty; seri pahlawan Nasional, diakses 9 September 2012
[5] Tudjimah, Syekh Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya, (Jakarta: UI Press, 2005), Cet. 1, h. 9
[6] Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia terj. Muhammad Nursamad, (Bandung: Mizan, 2009), cet. I, h. 194
[7] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, (Jakarta : Prenata Media Group, 2006), cet. I, h. 128
[8] Tudjimah,___________________________, h. 16
[9] Alwi Shihab,___________________h. 201
[10] Sri Mulyati,dkk. Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia .( Jakarta: Prenada Media, 2005). Cet I, h. 123-126
[11] http://id.berita.yahoo.com/hujjatul-islam-syekh-yusuf-al-makassari-ulama-dan-082115331.html, diakses 9 September 2012
[12] Alwi Shihab­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­__________________, h. 205

AJARAN TAREKAT SATTARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam tradisi keilmuan Islam, istilah “tarekat” sama sekali tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai tasawuf. Tentu saja tidak demikian sebaliknya, karena tasawuf bisa saja terpisah tanpa ada hubungan langsung dengan tarekat.
Secara kelembagaan tarekat baru terbentuk sebagai organisasi dalam dunia tasawuf pada abad ke 8 H. Artinya, tarekat bisa dianggap sebagai hal baru yang belum dijumpai pada periode awal Islam, termasuk pada masa Rasulullah SAW. Tidak heran kemudian jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbatkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad dari Nabi SAW.[1]
Salah satu tarekat yang cukup besar adalah tarekat Syatariyah. Tarekat ini dinisbatkan kepada ‘Abd Allah al-Shattari yang wafat pada tahun 890/1485. Tarekat ini meski dinisbatkan kepada syaikh ‘Abd Allah al-Shattari namun diyakini bersambung silsilahnya hingga ke Nabi saw, sehingga tarekat ini termasuk tarekat yang muktabarah.
Salah satu doktrin yang menjadi sorotan dalam tarekat Syatariyah adalah mengenai paham Wahdat al-wujud. Paham ini banyak menuai pro dan kontra dikalangan ulama, biak fiqih, hadits maupun ulama-ulama lain. Penyebabnya, doktrin ini dianggap sebagai doktrin yang bertentangan dengan paham ahlussunnah.
Dalam makalah yang singkat ini, penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai paham wahdat al-wujud yang diajarkan tarekat Syatariyah yang berada di Jawa dan Sumatra Barat.





BAB II
PEMBAHASAN
TAREKAT SYATARIYAH DAN WAHDATUL WUJUD
A.    SEJARAH SINGKAT TAREKAT SYATARIYAH
Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Syaikh  ‘Abd Allah al-Syhaththari yang wafat pada tahun 890/1485 M, seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh ‘Umar Suhrawardi (539-632 H), ulama safu yang mempopulerkan tarekat Suhrawardiyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri, Diya al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (490-563 H).
Syaikh ‘Abd Allah tinggal di Mandu, sebuah desa di India bagian tengah, dimana ia mendirikan khanaah pertama bagi para penganut tarekat Syatariyah. Ia diketahui menulis sebuah kitab berjudul Lata’if al-Ghaibiyah, tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syatariyah, yang disebutnya sebagai cara cepat untuk mencapai tingkat makrifat. Karyanya ini kemudian disempurnakan oleh dua murid utamanya, syaikh Muhammad ‘Ala dan syaikh hafiz Jawnpur.
Di haramayn tarekat Syatariyah disebarkan oleh Ahmad Syinawi dan Ahmad Qusyasyi (keduanya murid sayyid Sibgat Allah). Setelah Ahmad wafat maka penyebaran tarekat ini dipegang sepenuhnya oleh al-Qusyasyi. Di bawah kebesaran al-Qusyasyi, tarekat Syattariyah semakin memantapkan pengaruhnya di Haramayn.[2]
Jalur Tarekat Syatariyah ke Indonesia melalui Ibrahim al-Kurani (1023-1102 H) dan Syaikh Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105 H). di antara murid-murid Abdurrauf yang paling terkemuka diantaranya ialah Syaikh Burhanudin dari ulakan, pariaman, Sumatra Barat dan Syaikh Abd al-Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, jawa Barat. Kedua murid Abdurrauf ini berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah tarekat Syatariyah, dan menjadi tokoh sentral di daerahnya masing-masing. Syaikh Burhanuddin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah tarekat Syattariyah di wilayah Sumatra Barat periode berikutnya. Sementara Syaikh Abd al-Muhyi menjadi salah satu mata rantai utama bagi terhubungkannya silsilah tarekat Syattariyah di wilayah jawa barat khususnya dan jawa pada umumnya.[3]

B.     AJARAN TAREKAT SYATTARIYAH (versi jawa)
1.      TUHAN
Tuhan menurut Tarekat Satariyah adalah satu tidak ada sekutu bagiNya. Dzat Wajibul Wujud yakni Dzat yang hakekatnya nyata wujudnya, jelas ujudNya. Bahkan sebenarnya Dia yang ada dan maujud, Esa. Allah Allah asmaNya, namun gaib. Dalam halaman lain disebutkan bahwa Allah adalah dzat yang ghaib dan yang sebenarnya hanyalah Dia yang ada dan wujud. Satu yang disenangi dan juga hanya Dia yang Maha satu yang dituju di dalam hidupnya. Allah adalah Tuhan yang tidak lain adalah Hu, yakni Dzat yang sebenarnya wujud.
Dalam tarekat Satariyah ada Dzikir yang Hua dibaca Hu. Hu ini diucapkan dengan sirri yakni dengan mulut dikatupkan dan mata dipejamkan. Hu ini adalah isim ghaib yaitu wujudnya Tuhan. Dasarnya ialah surat al-Ikhlas ayat 1 yang berbunyi : Qul Huallahu Ahad. Yang artinya : katakanlah bahwa sesungguhnya Dia adalah Allah yang Maha satu.
Allah tidak mempunyai sifat tetapi mempunyai asma. Asma Allah berjumlah 99 seperti yang tertera dalam al-Qur’an. Selain itu ada lagi asma Allah yang ghaib (isim Ghaib) yaitu Hua.
Tuhan dapat dilihat di alam Dunia ini, cara melihat Tuhan ini ialah dengan membaca dzikir yang diajarkan Tarekat Syatariyah, alat untuk melihat Tuhan adalah rasa (sir).  Jadi ilmu-ilmu Syathoriyah adalah ilmu-ilmu yang membahas ma’rifat kepada Allah swt karena kata “syathor” artinya ialah pintu. Pintu untuk ma’rifat kepada Allah atau ilmu untuk melihat Allah. Tempat atau alat untuk melihat Tuhan adalah mata hati atau rasa. Rasa sendiri adalah sebagai intinya manusia. Manusia sulit sekali untuk mencapai tingkatan dapat ma’rifat (melihat Tuhan). Manusia yang dapat ma’rifat dengan Tuhan hanyalah hamba pilihan.
Adapun hubungan Tuhan dengan alam, bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Semua gerak gerik alam adalah di bawah pengawasan Tuhan dan digerakkan oleh Tuhan. Khusus hubungan Tuhan dengan manusia, bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan diberi nur Muhammad yang dimasukan langsung ke dalam tubuh manusia. Nur Muhammad berasal dari Tuhan dan nanti bila manusia mati, ia akan kembali kepada Tuhan.

2.      DUNIA
Dunia diciptakan karena adanya Nur Muhammad. Dunia ini diciptakan dari tidak ada menjadi ada tidak dengan bahan apapun. Langit, Bumi, matahari, dan bintang diciptakan secara bersama-sama.
Dunia ini dikendalikan oleh para malaikat atas perintah Tuhan. Tuhan memerintahkan kepada para malaikat untuk mengendalikan dunia inin sesuai dengan tugas-tugasnya. Khusus untuk manusia, semua perbuatannya yang mengendalikan adalah Tuhan sendiri.
Manusia hidup di dunia ini tidak dilarang memiliki harta benda yang banyak. Mereka diperbolehkan memiliki rumah yang bagus, mobil, perhiasan atau kekayaan lainnya. Pemilikan harta benda tersebut harus digunakan untuk kepentingan Allah atau agama. Disamping itu pemilikan harta benda tersebut harus pula dilandasi dengan lillahi ta’ala artinya harta benda yang dimiliki hakikatnya milik Allah. Jadi seumpama hilang atau rusak harus berserah diri atau tawakkal kepada Allah.
Bumi dan planet-planet yang lain akhirnya akan hancur semua. Kehancuran itu tidak diketahui waktunya. Kehancuran ini terjadi karena umurnya sudah habis. Dalil dari kehancuran ini ialah surat Ar-Rahman ayat 26-27.[4]

3.      MANUSIA
Manusia yang diciptakan pertama kali oleh Allah swt ialah Adam, terbuat dari tanah yang dibawa dari empat penjuru, tanah yang dibawa dari timur berwarna putih, tanah yang dibawa dari selatan berwarna merah, tanah yang dari barat berwarna kuning dan tanah yang dari utara berwarna hitam. Tanah ini diambil oleh malaikat dicampur dan dibentuk wujud manusia. Setelah dibentuk ujud manusia lalu di beri air, api dan angin, lalu hiduplah Adam. Penciptaan manusia dari tanah, air, angin dan api menjadikan manusia terpengaruh kehidupannya oleh bahan-bahan tersebut. Oleh karena itu manusia dibekali Allah swt dengan tujuh macam nafsu, diantara nafsu-nafsu tersebut, nafsu yang paling kuatlah yang akan banyak mempengaruhi kehidupan dunia. Tujuh macam nafsu tersebut ialah:
a)      Nafsu Amarah
b)      Nafsu Lawamah
c)      Nafsu Mulhimah
d)     Nafsu Mutmainah
e)      Nafsu Rodhiyah
f)       Nafsu Mardhiyah
g)      Nafsu Kamilah
Ruh manusia terbuat dari angin. Dengan begitu ruh manusia adalah nafas manusia yang keluar masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila seorang manusia di dalam hidupnya selalu taat kepada Allah, ia akan diberi keistimewaan oleh Allah swt. Bisa berupa mu’jizat yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul, karomah kepada para wali, dan maunah diberikan kepada manusia biasa. Karomah atau maunah dapat diperoleh dengan usaha, yaitu dengan cara senang mengosongkan perut dan senang terjaga di waktu malam hari.
Perbuatan manusia di dunia ini baik maupun buruk semua berasal dari Tuhan. Namun demikian Tuhan tidak akan memperlakukan perbuatan-perbuatan manusia kecuali dari kehendak manusia itu. Perbuatan baik akan dibantu malaikat, sedangkan perbuatan jelek atau buruk akan dibantu oleh jin.[5]
4.      AJARAN DZIKIR
Dzikir adalah alat untuk membuka beberap hati. dikatakan beberapa sebab hati manusia itu bersap-sap. Dari hati nurani, didalamnya ada roh. Roh juga berlapis-lapis. Kemudian di dalam Roh, ada lagi rasa.[6]
Dzikir yang diajarkan pada tharikat Syatariyah di Jawa Tengah ada tujuh macam: Dzikir Thowaf, Itsbat, Itsbat faqod, Ismu Zat, Tanzul (Ghoibun fi Syahadah) dan Dzikir Isim Ghoib (Dzikir Ghoibin fi Ghoib).
Rumusan mengenai hakikat Dzikir Syatariyah di Sumatra Barat, cenderung agak berbeda dengan ajaran al-Qushashi maupun Abdurrauf sebelumnya. Jika naskah-naskah Syatariyah karangan al-Qushashi dan Abdurrauf masih mewacanakan konsep fana’. Yakni peniadaan diri atau hilangnya batas-batas individu seseorang dan menjadi satu dengan Allah, bahkan fana’ an al-fana’ atau fana’ an fana’ih, yakni fana’ dari fana’ itu sendiri, sebagai hakikat atau tujuan akhir dari dzikir. Maka naskah-naskah Syatariyah di Sumatera Barat menegaskan bahwa hakikat Zikir adalah “sekedar” untuk membersihkan jiwa agar memperoleh kedekatan dengan Tuhan, serta untuk membuka rasa agar memperoleh keyakinan dan kesaksian akan hakikat dan wujudNya.[7]

C.    TAREKAT SYATARIYAH DI JAWA DAN MINANG, PANDANGANNYA MENGENAI WAHDATUL WUJUD
1.      Sekilas Mengenai Paham Wahdatul Wujud
Doktrin wahdat al-wujud merupakan konsepsi tentang Tuhan, hubungan Nya dengan alam, yang sering dinisbatkan kepada Ibn ‘Arabi (560-638 H), seorang sufi asal Andalusia. Para sarjana sepakat bahwa dalam berbagai karangannya, termasuk dalam dua karya utamannya, Fusus al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi tidak pernah menggunakan istilah wahdat al-wujud ataupun wujudiyah. Akan tetapi, berbagai karangannya tersebut memang menggambarkan dengan sesungguhnya apa yang dimaksud dengan wahdat al-wujud.
Dalam fusus al-hikam misalnya, Ibn Arabi menegaska:
“ semua (wujud) adalah milik Allah, dan (tercipta) dengan-Nya, bahkan semua (wujud) itu adalah Allah sendiri. Atau dalam ungkapannya yang lain “maha suci zat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah Zat segala sesuatu itu.”[8]

2.      Pandangan Tarekat Syatariyah di Jawa dan Minang mengenai Paham Wahdatul wujud
Tarekat Syattariyah dikenal sebagai tarekat yang kental dengan doktrin Wahdat al-Wujud. Syaikh Abd. Rauf bin Ali fansuri ini berhasil mengkombinasikan ajaran Syariat Mazhab Syafii dengan ajaran tasawuf orde tarekat syatariyah di Sumatera Barat. Tersebarnya tarekat Syattariyah mulai Aceh kemudian melewati Sumatera Barat, menyusur hingga ke Sumatera Selatan, dan berkembang pula hingga ke Cirebon Jawa Barat. Kalau kita kaji secara seksama, ternyata masih ada pertalian dan persambungan silsilah dengan Syaikh Abd. Rauf bin Ali fansuri tersebut.[9]
Diantara fenomena unik yang muncul di kalangan penganut Tarekat Syatariyah di Sumatra Barat adalah penolakan mereka terhadap doktrin Wahdat al-Wujud. Disebut unik karena tokoh-tokoh penting tarekat ini, baik yang berada di Haramayn, terutama al-Qusyasyi dan al-Kurani, maupun ulama Melayu-Indonesia sendiri di wilayah lainnya seperti Abdurrauf bin Ali al-Jawi dan Syaikh Abd al-Muhyi Pamijahan, dalam karya-karya atau naskah yang dinisbatkan kepadanya tidak menunjukan penolakan terhadap doktrin tersebut, melainkan melakukan representasi dengan mengemukakan penjelasan yang relative dapat diterima oeh ulama fikih sekalipun.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di dalam makalah ini, paling tidak ada beberapa poin penting yang bisa kita ambil:
1.      Ajaran tarekat Syatariyah di Sumatra Barat cenderung melunakan ajaran wahdatul wujud. Kecendrungan melunak ini bahkan lebih jelas lagi dalam hal rumusan ajaran tasawuf filosofisnya. Seperti tampak dalam naskah-naskah karangannya, al-kurani dan juga Abdurrauf nisalnya, masih mengajarkan doktrin Wahdat al-wujud meskipun rumusannya sudah lebih disesuaikan dengan dalil-dalil ortodoks Islam, sehingga doktrin Wahdat al-wujud ini lebih dapat diterima oleh banyak kalangan. Bahkan doktrin ini terkesan dilucuti, sehingga ajaran tarekat Syatariyah di Sumatra Barat, terutama yang berkembang pada abad ke-19 menjadi lebih khas tanpa mengajarkan doktrin Wahdat al-wujud.
2.      Berbeda dengan di Sumatra Barat, ajaran tarekat Syatariyah di Jawa dan Sunda masih mengajarkan ajaran Wahdat al-wujud dengan lebih kental. Seperti terekam dalam naskah-naskah tarekat Syatariyah yang berasal dari Kuningan, Cirebon, dan Giriloyo, ajaran tarekat Syatariyah yang berkembang melalui Syaikh Abdul Muhyi pamijahan. Di wilayah ini masih mengemukakan doktrin Wahdat al-wujud sebagai bagian dari pembahasannya.
3.      Kekhasan Tarekat Suatariyah di masing-masing daerah dalam mengajarkan doktrin Wahdat al-wujud banyak dipengaruhi karakter masyarakat setempat, budaya dan tokoh yang membawa tarekat ini ke daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman, Tarekat Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I
Mulyati, Sri, et.al , Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. II
Sholihin, Muhammad, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), cet.I
Sodli, Ahmad, Studi Kasus Tarekat Syatariyah di Desa Kendal, Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi Jawa Timur, (Semarang: Depag, 1994), Cet. I



[1] Fathurrahman, Tarekat Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I, h. 25
[2] Sri Mulyati, et.al , Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. II, h. 160
[3] Fathurrahman, Tarekat Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I, h. 35
[4] Ahmad Sodli, Studi Kasus Tarekat Syatariyah di Desa Kendal, Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi Jawa Timur, (Semarang: Depag, 1994), Cet. I, h. 33
[5] Ahmad Sodli, Studi Kasus Tarekat Syatariyah di Desa Kendal, Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi Jawa Timur, (Semarang: Depag, 1994), Cet. I, h. 36
[6] Ibid, h. 39
[7] Fathurrahman, Tarekat Syatariyah di Minangkabau, (Jakarta: Pranada Media, 2008), cet. I, h. 15
[8] Ibid, h. 122
[9] M. Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), cet. I, H. 71