Informasi yang kamu cari

Jumat, 04 Juli 2014

Ilmu Mukhtalif al-Hadits dan beberapa metodenya

ILMU MUKHTALIF AL-HADITS

A.    PENGERTIAN DAN KEGUNAAN ILMU MUKHTALIF AL-HADITS

Kata-kata Mukhtalif artinya yang berselisih atau yang bertentangan. Hadits Mukhtalif berarti hadits yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Boleh juga dibaca hadis Mukhtalaf, artinya hadis yang diperselisihkan dengan hadis lainnya.
Pengertian hadis mukhtalif menurut al-Nawawi sebagaimana dikutip oleh al-suyuti adalah dua buah hadis yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan) ,untuk mengetahui makna sebenarnya keduanya dikompromikan atau ditarjih (untuk mengetahui mana yang kuat diantaranya).
Menurut pendapat ulama yang lain disebutkan bahwa mukhtalif al-hadits ialah “hadis shahih atau hasan (maqbul) yang secara lahiriah tampak saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Namun makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya dapat diselesaikan dengan metode kompromi (jama’), naskh ataupun tarjih.”
Jadi ilmu mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara di-taqyid (pembatasan) yang mutlak, takhsish al-‘am (pengkhususan yang umum), atau dengan yang lain. Tujuan ilmu ini ialah mengetahui hadis mana saja yang kontradiktif antara yang satu dengan yang lainnya dan bagaimana cara pemecahannya atau langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadis-hadis yang kontra tersebut sehingga hilang kesan kontradiktif pada hadis-hadis tersebut.
B.     LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN HADITS MUKHTALIF

Secara global metode (manhaj) penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dirumuskan oleh para ulama hadis kedalam empat metode yaitu : pertama, metode al-jam’u (mengompromikan dua dalil yang tampak bertentangan untuk diamalkan dua-duanya). Kedua, metode al-Tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua dalil yang tampak bertentangan). Ketiga, metode al-nasakh (menghapus salah satu dari dua dalil yang tampak bertentangan). Keempat, metode al-Tasaqut (menggugurkan atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan menyerahkan pada hokum ashal), atau dalam istilah ibn Hajar, disebut dengan metode al-tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil (menangguhkan) sambil menunggu petunjuk dari Allah Swt dalam menyelesaikan pertentangan tersebut).
Berikut adalah metode dari beberapa ulama yang digunakan dalam menyelesaikan masalah mukhtalif al-hadits.
a.       Metode Imam As-syafi’i
Ø  Pertama beliau merumuskan berdasarkan kompromi (al-jam’u wa al-taufiq), artinya mengkompromikan satu dengan yang lainnya sehingga kandungan makna kedua hadits dapat ditemukan titik temunya
Ø  Kedua, metode al-naskh (mengkaji apakah hadis tersebut terkait nasikh dan mansukh atau tidak)
Ø  Ketiga, bila terbukti ada kaitannya dengan soal nasikh dan mansukh maka diselesaikan dengan metode al-tarjih (mana yang lebih kuat)
Ø  Metode imam assyafii sedikit berbeda dengan mayoritas ulama Hanafiyah yang lebih memakai urutan prioritas penggunaan metode dari al-nasakh, al-tarjih, al-jam’u dan kemudian al-tasaqut (menggugurkan), yakni tidak mengamalkan kedua dalil tersebut.

b.      Metode Ibn Qutaybah
Metode yang sering digunakan oleh beliau adalah metode al-jam’u dan al-tarjih, dengan teknik mentakhrij hadis terlebih dahulu. Menurutnya hakikat pertentangan dalam nash sesungguhnya tidak ada. Kontradiktif itu hanya timbul pada persepsi manusia yang menjadi obyek dari kedua sumber tersebut.
Dalam menyelesaikan hadis yang kontradiktif beliau menempuh langkah praktis sebagai berikut:
Ø  Analisa kebahasaan pada tiap-tiap lafaz hadis secara mendetail
Ø  Berargumentasi dengan syair-syair dan perkataan pujangga arab guna menganalisis otentisitas makna lafaz hadis yang memakai bahasa arab
Ø  Analisa kebahasaan terhadap lafaz-lafaz yang janggal atau sulit dipahami oleh orang arab sendiri
Ø  Berdalil kepada Al-Quran sebagai konfirmasi dan justifikasi
Ø  Berdalil kepada hadis yang lain sebagai pendukung dan pembanding analisanya
Ø  Menghindari adanya perbedaan yang ekstrim diantara kedua hadis yang dijama’ (dikompromikan)
c.       Metode At-Thabary
Metode praktis yang beliau lakukan adalah sebagai berikut:
Ø  Menganalisa sanad hadis dan kualitasnya terlebih dahulu
Ø  Analisis matan /makna hadis secara detail dan mendalam
Ø  Menganalisis Maqasid Al-Syari’ah dalam hadits dimaksud
Ø  Menggunakan pendekatan ilmu sejarah dan psikologi
Ø  Memperhatikan korelasi dan interelasi teks dan konteksnya
d.      Metode Al-Thahawy
Berdasarkan kitab yang beliau susun[1], terlihat sistematika penulisan atau penyusunan sebagai berikut:
Ø  Setiap masalah atau tema diberi hadis yang tampak bertentangan disertai keterangan sanad hadisnya
Ø  Dianalisis lafadznya dan kemudian dijelaskan kedua hadis yang tampak bertentangan dengan cara kompromi dengan syarat kedua hadis pada derajat yang shahih
Ø  Bila keduanya shahih tapi sulit dikompromikan maka digunakan teori nasakh mansukh
Ø  Bila biografi perawi hadis dan asbab al-wurudnya susah diketahui maka digunakan metode tarjih.
e.       Metode Ibn Faurak
Dalam kitabnya[2] beliau membagi sabda Rasulullah menjadi dua bagian:
1.      Sabda Nabi SAW yang berdiri sendiri dan dijelaskan secara implisit oleh teksnya sendiri
2.      Sabda Nabi SAW yang memerlukan penjelasan dengan kalimat tersendiri diluar teksnya
Dalam mentakwil musykil hadis beliau menggunakan metode sebagai berikut:
Ø  Memahami tema dan konteks sosio historis dari hadis yang musykil (terutama dalam hal teologi)
Ø  Berargumentasi dengan Al-Quran sebagai justrifikasi atas interpretasinya
Ø  Berargumentasi dengan kebiasaan bahasa yang lazim dipakai oleh orang arab ddalam memahami teks dan berwacana.
f.       Metode Ibn Al-Shalah
Sebagai tokoh di bidang hadis, ibn shalah banyak karyanya di antaranya adalah kitab ulum al-hadis li ibn shalah. Dalam kitab inilah dia menjelaskan metode penyelesaian hadis mukhtalif yang pertama. Menurut ibn shalah metode penyelesaian hadis mukhtalif yang pertama adalah al-jam’u. jika tidak memungkinkan al-jam’u, di tempuh cara kedua yaitu al-nasikh wa al-mansukh. Apabila cara ini tidak memungkinkan juga, maka dilanjutkan dengan metode ketiga yaitu al-tarjih.
Metode ibn shalah di atas, kemudian disempurnakan oleh ibn hajar al-asqalani yang bernama Ahmad b. Ali b. Hajar Al-Asqalani. Dia adalah tokoh hadis yang hampir sezaman dengan ibn Taimiyah. Metode yang disempurnakan ibn Hajar selain al-jam’ual-nasikh wa al-mansukh, dan al-tarjih adalah al-tawaqquf, yang berarti tidak mengamalkan kandungan hadis yang tampak bertentangan tersebut, sambil menunggu datangnya petunjuk dari Allah SWT.[3]
g.      Metode ibn Taimiyah
Pada masalah metode penyelesaian hadis mukhtalif secara umum , ibn Taimiyah menggunakan metode al-jam’u, al-tarjih, dan al-nasakh secara berurutan. Langkah seperti ini juga digunakan ibn Taimiyah dalam penyelesaian hadis al-tanawwu’ fi al-‘ibadah . Namun karena dalam masalah ini mayoritas berdasarkan hadis yang shahih maqbul, tampaknya Ibn Taimiyah hanya menggunakan metode al-jam’u wa al-taufiq baina al-hadis al-mukhtalifah fi al-ibadah (komprromistis) saja.
Selanjutnya ibn taimiyah hanya berijtihad Untuk membuat klasifikasi pengutamaan (penentuan yang lebih utama [al-afdal] dan yang diutamakan [al-mafdul] dari masing-masing hadis) mengenai pengamalan ajaran yang terdapat dalam hadis-hadis al-tanawwu’ fi al-‘ibadah tersebut, bagi pembaca maupun pelakunya (yang mengamalkan ajaran Nabi SAW).

C.      PAKAR ILMU MUKHTALIF AL-HADITS DAN KARYA-KARYANYA
Pada abad kedua sampai abad ketiga hijriyah, ilmu mukhtalif al-hadits ini masih saja hanya ada dalam bentuk praktisnya, belum merupakan suatu teori yang dapat diwarisi secara tertulis. Barulah kemudian imam Muhammad ibn idris al-Syafii (150-204 H) membuka lembran baru sejarah perkembangannya dari yang sebelumnya tidak tertulis menjadi tertulis, yakni dengan menuangkan teori penyelesaian hadis-hadis mukhtalifnya dalam sebuah karya berjudul Ikhtilaf Al-Hadits.

Langkah al-Syafii tersebut kemudian diikuti oleh Imam al-Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaybah (213-276 H), yang juga menulis kitab khusus tentang hadis-hadis mukhtalif dan penyelesaiannya, dengan judul Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits. Beliau menyusunnya untuk menyanggah musuh-musuh hadits yang meluncurkan beberapa tuduhan kepada ahli hadits dengan sejumlah periwayatan beberapa hadits yang tampak saling bertentangan. Beliau menjelaskan hadits-hadis yang mereka klaim saling kontradiktif dan memberikan tanggapan terhadap kerancuan-kerancuan seputar hadhis itu.Setelah itu muncul pula al-Thahawy (239-321 h) dengan kitabnya Musykil Al-Asar yang telah dicetak di India tahun 1333 H, Imam Al- dan terdiri dari empat jilid. Muhadits Abu Bakar Muhammad ibn Al-hasan (ibn aurak) dengan kitabnya Musykil al-Hadis wa Bayanuhu (telah dicetak di India tahun 1362 H), dan sejumlah tokoh lainnya termasuk juga Ibn Taimiyyah.



[1]Yaitu kitab Syarh Musykil al-Asar
[2] Yaitu kitab musykil al-hadits wabayanuhu
[3] Moh. Isom yusqi, metodologi penyelesaian hadis kontradiktif, 2006, mitra fajar Indonesia,hal.146

Tidak ada komentar:

Posting Komentar