Informasi yang kamu cari

Rabu, 24 Desember 2014

KUMPULAN BERITA RADIKALISME AGAMA (ISLAM)

Akar-Akar Radikalisme
29-March-2006
Radikalisme, bahkan terorisme agama, pasca 11 September selalu diidentikkan dengan Islam. Pers Barat menuduh semena-mena bahwa Islam mengajarkan radikalisme. Tentu saja persepsi negatif ini dibantah mati-matian oleh para ulama dan pemimpin dunia Islam. Tidak hanya kalangan Islam, pemikir Barat yang mendalami Islam menyalahkan pengidentikan Islam dengan kekerasan.
Pengidentikan Islam dengan radikalisme, tidaklah muncul dari ruang hampa. Persepsi negatif ini lahir dari ulah sekelompok umat Islam yang melakukan kekerasan atas nama agama. Jadi, menyalahkan pers Barat sebagai biang keladi pengidentikan Islam dengan terorisme tidaklah fair. Umat Islam harus introspeksi diri.
Selama ini, dari “hilir mudiknya” informasi di telinga kita, Barat terkesan melihat fenomena “radikalisme Islam” bersumber dari ajaran Islam. Agama Islam dianggap sebagai motivator dan penyebab satu-satunya kekerasan atas agama, dan menafikan faktor lain seperti kondisi sosial, politik, dam ekonomi di negara tertentu.
Amien Rais, di sela seminar “agama, radikalisme, dan multikulturalisme” di Universitas Muhammadiyah Magelang (24/03/06), mengatakan bahwa radikalisme tidaklah diinspirasikan oleh ajaran agama Islam. Radikalisme muncul dari penderitaan sosial, politik, dan ekonomi yang dialami anak bangsa.
Dalam meneliti sumber radikalisme agama, menurut Amien Rais, Barat tidak menggunakan hukum kausalitas (sebab-akibat). Barat hanya melihat jargon-jargon yang diteriakkan kelompok radikal, tapi tidak menggali akar penyebab dari semua itu.
Pernyataan Amien bahwa radikalisme tidak bersumber dari ajaran Islam, tapi lebih banyak disebabkan oleh faktor penderitaan sosial, politik, dan ekonomi mirip pernyataan Emil Salim dalam dialog interaktif dengan RRI pada tanggal 22 Maret 2006. Menurutnya, kekerasan atau terorisme tidak ada kaitannya dengan agama tertentu. Ia muncul sebagai respons dari kelompok tertinggal dan miskin kepada golongan yang lebih mapan dari segi ekonomi.
Emil mencontohkan Palestina dan Israel. Konflik ini murni disebabkan ketimpangan yang parah antara ekonomi masyarakat Palestina dan Israel. Kekerasan yang sama juga terjadi di negara-negara Barat, seperti keributan di Prancis antara penduduk pribumi dan pendatang. Perbedaannya dengan negeri-negeri Muslim, pemerintah negara-negara Barat bisa memberikan jaminan-jaminan sosial sehingga ketimpangan ekonomi bisa terkurangi.
Pernyataan dua tokoh di atas benar adanya. Radikalisme atau terorisme tidaklah lahir dari ajaran Islam. Ia mencuat sebagai respons atas permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat tertentu.
Munculnya “radikalisme Islam” jangan dipisahkan dengan konstelasi politik global saat ini. Jika kita membaca radikalisme Islam dalam konteks global, ia adalah perjuangan untuk merobohkan ketidakadilan yang menimpa negeri-negeri Muslim.
Ungkapan Amien di sela seminar di Magelang menarik untuk kita kutip di sini. Ia menganjurkan kelompok-kelompok Islam agar tidak berpikiran sempit, karena perjuangan tidak akan selesai dalam semalam. Dibutuhkan persiapan kekuatan multidimensional agar perjuangan bisa sukses.
Citra Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin hilang karena perbuatan sekelompok umat yang melakukan kekerasan atas nama Tuhan. Padahal Tuhan tidak membenarkan manusia membuat kerusakan dan membinasakan manusia tak berdosa, apa pun alasannya.
Memulihkan citra Islam adalah tanggung jawab kita semua, peratuan dan kesatuan umat Islam mutlak diperlukan untuk menyelesaikan misi ini. Kekerasan atas nama Islam bukanlah obat penyakit islamophobia yang saat ini di derita oleh sebagian kelompok orang di Barat. (CMM/deny)

Bom Cirebon: Ekses Kemajuan Komunikasi yang Melahirkan Radikalisme pada Perubahan Sosial

OPINI | 25 April 2011 | 16:40 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon01.jpg25 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon02.jpg0 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon03.jpgNihil

Lebih dari seratus artikel di Kompasiana ini yang telah mengulas peristiwa meledaknya   Bom bunuh diri di  Cirebon. Kejadian ini menimbulkan reaksi yang beragam, ada yang mengutuk,ada yang  kasihan pada keluarga bomber karena harus menanggung aib dan ada yang mempertanyakan kenapa anak muda rentan terhadap aliran keras sehingga bersikap radikal dan melakukan bunuh diri.
Memang Bom yang menyalak di Cirebon  pada tanggal 15 April 2011 yang dilakukan oleh  anak muda bernama   M. Syarif  Astanagarif, umur 32 tahun itu  sangat mengejutkan berbagai pihak. Peristiwa itu   terjadi di Mesjid Al-Daikra,  kantor Polresta Cirebon Jawa Barat.   Ada dua hal penting disini yang melahirkan pertanyaan mendalam yaitu kenapa Bom di Mesjid dan kenapa  di kantor polisi.
Mungkin banyak analisis yang bisa dilakukan  terhadap peristiwa di atas, karena peristiwa ini bisa dikaji dari dari sudut psikologi, sosiologi,  dan logi-logi yang lainnya.  Kejenuhan yang terjadi di ranah politik dan sosial serta bosan terhadap ritorika  dan berbagai kedangkalan jiwa dalam proses perubahan sosial dewasa ini,  juga dapat dijadikan alat analisis  untuk  membaca fenomena radikalisme yang menjangkiti  anak-anak muda.
Tulisan ini ingin mencoba membaca fenomena radikalisme  yang terjadi akhir-akhir ini  dari sudut pandang  filsafat komunikasi, tepatnya peran komunikasi dalam melahirkan radikalisme  pada  perubahan sosial.
Dewasa ini terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan manusia, perubahan itu terjadi ditingkat nilai karena terjadi perubahan konsep ruang dan waktu. Perubahan konsep ruang dan waktu ini disebabkan karena kemajuan teknologi komunikasi informasi.
Dengan teknologi komunikasi dan informasi seperti   internet, komunikasi tidak lagi mensyaratkan kesatuan waktu dan ruang. Waktu dan ruang berpisah, ketika waktu dan ruang berpisah, timbul percepatan dan dunia  bergerak dengan cepat. Percepatan menimbulkan kerja yang berdesakan  dan lahirlah hal-hal yang instan. Semua orang tungang-langgang mengejar masa depan yang tidak bernama.
Gelombang peradapan manusia  sedang mengalami keadaan yang gonjang ganjing. Kekerasan dan ketidakadilan merajalela. Konflik kepentingan terjadi diberbagai lini kehidupan. Kemajuan teknologi  komunikasi   informasi melahirkan reaksi  beragam. Bagi sebagian orang kemajuan ini   dilihat sebagai alat  membuat pikiran terbuka tetapi bagi  sebagian orang melihat kemajuan ini sebagai ancaman  sehingga muncul pendalaman  ideologi  yang fundamental dan lahirlah doktrin yang beraliran keras. Kejenuhan yang terjadi di ranah politik dan social serta bosan terhadap ritorika  dan berbagai kedangkalan , maka anak  muda  rentan terhadap doktrin  beraliran keras .
Bagaimana hal demikian bisa terjadi,  dengan teori memetika kiranya dapat dijelaskan. Satu hal penanda manusia adalah kesadarannya. Unsur utama dari kesadaran adalah meme ( baca : mem), dan studi mengenai meme ini melahirkan teori memetika.
Teori memetika ini didasarkan pada teori evolusi Charles Darwin, yang dikembangkan oleh Richard Dawkins .  Bila teori evolusi Darwin   berkisar pada  perubahan tubuh yang digerakkan oleh gene (baca : gen) , teori Dawkins adalah teori perubahan dalam peristiwa  sosial budaya, dimana Dawkins meyakini bahwa peristiwa social budaya mengalami evolusi seperti evolusi biologi dalam teori  Darwin.
Bila dalam teori Darwin evolusi biologi digerakan oleh gene, dalam teori Dawkins  perubahan peristiwa sosial budaya digerakan oleh unsur kesadaran manusia yang disebutnya meme. Seperti gene,meme memiliki fungsi untuk melakukan pengganda  diri sendiri (replicator) yang menggandakan diri  dalam otak manusia . Meme adalah suatu unit informasi yang tersimpan di benak seseorang   yang mempengaruhi lingkungannya  dan dapat  menular secara  luas ke benak  lain dan mempengaruhi sikap dan tindakan sosial budaya.
Teori memetika dapat menjelaskan mengapa suatu aliran keras terus diproduksi dan diterima oleh orang –orang  walaupun mereka sadar akan bahayanya. Jawabannya  adalah karena meme yang telah tertanam dalam benak orang dan menggandakan diri sekaligus merebut kesadaran si pemilik  benak.
Richard  Brodie  dalam bukunya Virus of mind (1996)  memperluas teori ini. Dia mengatakan  bahwa ada 3 jalur  yang digunakan meme dalam menulari benak orang, yaitu :
  1. Repetition (pengulangan). Indoktrinasi yang diulang-ulang sehingga indoktrinasi itu terasa akrab  dan merupakan bagian dari program diri. Anak muda sangat rentan terhadap indoktrinasi.
  2. Cognitive dissounance (ketegangan ). Bila orang berada  dalam ketegangan dan  merasa tidak  nyaman,  dan bila muncul suatu doktrin  baru  yang bisa mengendurkan ketegangan itu ,maka doktrin  baru itu akan didukung dan doktrin  lama dibuang.
  3. Free ridding ( menunggangi). Bila orang nyaman dengan doktrin baru maka doktrin baru itu akan  menunggangi nalurinya. Ajaran –ajaran lama (leluhur)  sudah tidak menarik lagi, karena muncul doktrin baru  yang  diperdengarkan nyaris sempurna, dan meminta orang  percaya buta.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi bisa terjadi evolusi yang digerakkan oleh meme yang mempengaruhi kesadaran manusia dan dalam perubahan social Komunikasi berperan melahirkan Radikalisme .
Kemajuan teknologi mempercepat sampainya informasi kepenjuru kehidupan. Media televise yang secara terus menerus memberitakan tentang kekerasan tanpa sadar melakukan repetition untuk membentuk suatu indoktrinasi. Media masa baik cetak maupun eletronik yang selalu memberitakan tentang ketidak adilan yang dilakukan pihak penguasa, pengusaha dan kelompok kuat lainnya terhadap kelompok yang lebih lemah, seperti melakukan sebuah doktrinisasi yang berfungsi menularkan meme ke khalayak luas.
radikalismeBerdesakannya informasi secara meluas, baik dari segi kuantitas maupun kualitas menyebabkan timbulnya ketegangan didalam masyarakat menyebabkan mudahnya tumbuh doktrin-doktrin baru yang seakan menjadi solusi yang paling tepat. Pada akhirnya doktrin-doktrin baru itu menunggangi masyarakat luas untuk melakukan sesuatu hal yang kita sadari itu sebagai sebuah radikalisme yang berujung seperti Bom Cirebon.
Jika kita menyadari kondisi ini secara purna, dapat disimpulkan bahwa kemajuan teknologi, ditambah lagi kebebasan media yang mengunggangi eforia berdemokrasi di Indonesia, memiliki peran penting untuk timbulnya Radikalisme sebagai sebuah ekses negative dari sebuah kemajuan dan keterbukaan.
1
JAKARTA, KOMPAS.com — Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan mengatakan, radikalisme saat ini sudah semakin mengkhawatirkan dengan berkembang di berbagai institusi pendidikan.
Oleh karena itu, menurut Anies, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh insitusi pendidikan agar dapat mencegah permasalahan tersebut. Salah satunya adalah menindak tegas guru-guru yang menoleransi kekerasan di dalam kelas.
Menurut Anies, menoleransi kekerasan dalam kelas dapat menimbulkan efek yang buruk bagi psikologis anak-anak. "Jika ada guru-guru yang menoleransi kekerasan dalam kelas, atas nama apa pun, mereka harus ditarik keluar kelas. Mereka itu harus dibina kembali," ujar Anies di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (4/5/2011).
Selain itu, lanjut Anies, insitusi pendidikan juga harus memonitor semua kegiatannya, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Anies menilai, saat ini banyak kasus bermotif radikalisme muncul dalam kegiatan ekstrakurikuler. "Misalnya, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang ada di kampus agar kita bisa tahu apa saja kegiatan mereka," ujar Anies.
"Hal itulah yang fundamental karena itu persoalannya di akar rumput. Jadi, kalau hanya ngomongin hukum dan undang-undang saja, itu tidak akan selesai," katanya.
Penanganan Radikalisme tak Bisa Parsial

JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj, menyatakan penanganan radikalisme agama tidak mungkin dihadapi secara parsial. Soalnya, problem radikalisme agama terdapat di seluruh bagian, dari hulu ke hilir. "Sebagai kesatuan paham dan gerakan, radikalisme agama tidak mungkin dihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial," kata Said Aqil dalam acara bedah buku Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian di gedung PBNU, Jakarta, Selasa (19/4).Dikatakannya dalam lansiran Antara, untuk mengatasi radikalisme agama, dibutuhkan perencanaan kebijakan dan implementasi yang komprehensif dan terpadu. Beberapa faktor yang menyebabkan terorisme masih terus berkembang, di antaranya kemiskinan, kebodohan, balas dendam, dan pemahaman Islam yang salah."Saya memandang penanganan radikalisme agama idealnya menempuh langkah legal formal dan langkah kebudayaan sekaligus," kata Said Aqil. Pendekatan legal formal...


http://koran.republika.co.id/koran/210/133598/Penanganan_Radikalisme_tak_Bisa_Parsial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar